JAKARTA, HUMAS MK - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Senin (2/12/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Erko Mojra yang merupakan Aparatur Sipil Negara menguji konstitusionalitas Pasal 197 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h, dan ayat (2) KUHAP. Dalam sidang kedua dengan agenda pemeriksaan perbaikan perkara Nomor 69/PUU-XVII/2019 ini, Erko menyampaikan penyempurnaan Petitum permohonan agar dapat menguraikan keterkaitan norma yang diuji dengan kerugian konstitusional yang dialami.
“Saya mengembangkan norma yang diuji ini sebagaimana saran dari Yang Mulia. Artinya, di awal itu saya kembangkan, saya perluas lagi, saya jelaskan lagi,“ jelas Erko di hadapan sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan M. P. Sitompul dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Enny Nurbaningsih.
Dengan demikian, Pemohon memohonkan agar Mahkamah menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang frasa tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, dan j. Di samping itu, sambung Erko, pasal tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum sehingga tidak ditafsirkan lain.
Pada sidang sebelumnya, Pemohon menguraikan dirinya adalah Warga Negara Indonesia yang berstatus sebagai Terdakwa berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Kasongan Nomor 99/Pid.Sus/2018/PN.Ksn, tanggal 29 April 2019, dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Palangkaraya Nomor 35/PID.SUS/2019/PT.PLK, tanggal 13 Juni 2019, dan dikuatkan kembali oleh Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3303 K/Pid.Sus/2019, tanggal 17 Oktober 2019. Sehubungan dengan hal tersebut, dirinya merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya frasa “batal demi hukum” dalam Pasal 197 ayat (2) dalam hubungannya dengan Pasal 197 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h KUHAP.
Tanpa didampingi kuasa hukum, Pemohon menyebutkan bahwa ia belum menerima salinan putusan tingkat Kasasi. Apabila salinan telah dikirimkan dan diterima oleh para pihak, maka putusan-putusan tersebut akan berstatus kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Menurutnya, frasa “batal demi hukum” dalam Pasal 197 ayat (2) dalam hubungannya dengan Pasal 197 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h KUHAP tidak jelas, tidak tegas, ambiguitas, dan multitafsir sehingga kontraproduktif dengan tujuannya. Yang salah satunya, adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia sehingga dengan demikian tidak memberikan kepastian serta perlindungan hukum yang adil bagi Pemohon.
Selanjutnya, Erko menyatakan apabila pasal-pasal yang diujikan dinyatakan oleh MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai putusan yang sejak semula dianggap tidak pernah ada, maka potensi hal yang Pemohon khawatirkan ini tidak akan terjadi. Oleh karena itu, Erko dalam Petitum meminta agar frasa “batal demi hukum” dalam Pasal 197 ayat (2) dalam hubungannya dengan Pasal 197 ayat (1) huruf b, c, d, e, f, h KUHAP bertentangan dengan UUD 1945. (Sri Pujianti/NRA).