BALI, HUMAS MK – Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) menggelar kegiatan Call for Paper yang merupakan rangkaian The 3rd Indonesian Constitutional Court International Symposium (ICCIS 2019) pada Kamis (7/11/2019) di Nusa Dua, Bali. Mellaui kegiatan ini, MKRI merasakan perlu untuk mempelajari setiap praktik penyelesaian masalah konstitusional dalam peradilan pada banyak negara.
Jennifer Gitiri Wangui dari Mahkamah Agung Kenya tampil sebagai pemakalah dengan judul “Progressive Nature of Social Economic Rights: A Delayed Promise?”. Pada tulisannya ini, Jennifer mengeksplorasi ketentuan yang menjadi dasar penerapan hak sosial ekonomi serta berbagai tantangan dan solusi yang tersedia untuk menyelesaikan pelanggaran hak-hak sosial ekonomi itu sendiri.
Dalam pandangan Jennifer, hak sosial, ekonomi, dan budaya adalah hak asasi manusia generasi kedua yang berkaitan dengan hak pekerjaan, jaminan sosial, lingkungan, kehidupan keluarga, kehidupan budaya, lingkungan, dan lainnya. Berbeda dengan hak generasi pertama, Jennifer melihat bahwa penerapan hak-hak generasi kedua ini tunduk pada realisasi progresif. Dalam arti kata, hak-hak ini merupakan elemen penting dari keadilan transisional dan rekonstruksi pascakonflik yang marak di negara-negara berkembang.
Menurut Jennifer, adanya pengakuan hak sosial ekonomi ini sebenarnya akan menemui banyak tantangan karena sebagian besar merupakan cakupan ranah hukum. Tantangan yang paling nyata adalah adanya konsep pemisahan kekuasaan dan doktrin politik dengan memungkinkan campur tangan pengadilan dalam hal-hal yang dianggap sebagai bidang pemerintahan legislatif dan eksekutif dari pemerintahan. Terlepas dari tantangan-tantangan ini, sampai Jennifer, ke depan akan semakin banyak pula negara yang menetapkan hak sosial ekonomi dalam konstitusi serta sistem hukumnya.
Sebagai studi kasus, Jennifer mengamati bagaimana pengadilan di Kenya menggunakan realisasi progresif sebagai standar untuk menerapkan kesetaraan dan non-diskriminasi di luar perlindungan hak sosial ekonomi masyarakatnya. “Indikasi ini mengisyaratkan jika hukum adalah instrumen untuk mengubah masyarakat. Meskipun, ruang lingkup dan isi hak sosial ekonomi ini belum diartikulasikan secara jelas dan masih bersifat progresif, maka dalam hal ini pulalah negara bertugas bersama-sama dengan sistem peradilan untuk menjamin hak-hak sosial ekonomi warga negara dilindungi dan ditegakkan,” terang Jennifer didampingi Ali Safa’at dari Universitas Brawijaya, Malang selaku moderator.
Pelaksanaan Kewajiban Konstitusional
Sementara itu, Muhammad Ekramul Haque dari Universitas Dhaka, Bangladesh tampil dalam presentasi dengan makalah yang berjudul “Constitutional Protection of Social and Economic Rights and the Role of the Supreme Court of Bangladesh”. Melalui tulisannya, Ekramul mengungkapkan konstitusi Bangladesh menempatkan perlindungan hak sosial ekonomi pada Bagian II dari kebijakan negara yang tidak dapat ditegakkan secara hukum. Terkait hal ini, sampai Ekramul, telah banyak digelar diskusi dan debat di Majelis Konstituante. Namun demikian, akhirnya berpedoman pada Pasal 8 ayat (2) Konstitusi akhirnya menyatakan semua prinsip dasar kebijakan negara tidak dapat diberlakukan secara hukum. “Ketidakberlakuan yudisial ini membuka ruang lingkup bagi Mahkamah Agung dalam memainkan peran penting dalam melindungi hak-hak ekonomi sosial, terlepas dari batasan konstitusional yang ada, “ terang Ekramul di hadapan peserta Call for Paper yang berasal dari ahli, peneliti, dan akademisi dari 17 negara sahabat.
Lahirnya Universalitas HAM
Fabian Duessel dari MK Republik Korea dalam makalah berjudul “The Unity of Human Rights and Perspectives on Socio-Economic Rights During 1939-1945” membahas dokumen yang kemudian memunculkan lahirnya universalitas hak asasi manusia selama periode 1939-1945. Dalam pandangan Fabian, perdebatan ideologis pada masa Perang Dingin mempertentangkan antara hak-hak sipil dan politik dan hak sosial ekonomi. Namun, dengan berakhirnya Perang Dingin maka seruan untuk menyatukan konsep hak asasi ini kembali mencuat.
Melalui makalahnya, Fabian ingin meninjau kembali sifat khusus hak sosial ekonomi yang jika dilihat dari dari sudut pandang saat ini bahwa kedua hak ini harus diperlakukan sebagai hak yang tidak dapat dibagi dan tidak menjadi subjek dikotomi lagi. Dengan meninjau kembali hakikat hak sosial ekonomi dan penegakannya di tingkat internasional dan nasional, jelas bahwa hak sipil dan politik dan hak sosial ekonomi harus dilihat sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Sehingga menjadi konsep holistik tentang hak asasi manusia.
Kegiatan Call for Paper ini merupakan acara yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara MKRI yang diselenggarakan selama dua hari (6–7/11/2019). Adapun agenda utama kegiatan ini adalah presentasi dari beberapa pemakalah terpilih untuk selanjutnya dilakukan diskusi dengan penyampaian tanggapan dari peserta lainnya. (Sri Pujianti/NRA).