BALI, HUMAS MKRI – Indonesia memiliki pengalaman menarik terkait hak asasi manusia (HAM) di dalam pengaturan mulai dari konstitusi hingga regulasi, yang merupakan pelaksanaan konstitusi. Pada tahap awal sebelum amandemen, konstitusi Indonesia UU 1945 tidak memiliki landasan cukup kuat dalam mengatur dan melindungi hak ekonomi, sosial, dan budaya warga negara, termasuk hak sipil dan politik. Pada saat itu UUD 1945 sangat singkat karena memang dimaksudkan sebagai UUD sementara untuk mengantar Indonesia menuju proses kemerdekaan dan pembentukan negara, karena hak ekonomi, sosial, dan budaya yang diatur hanya mengenai hak untuk bekerja, mendapat penghidupan yang layak, dan pendidikan.
Demikian ungkap Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.H. dalam makalahnya mengenai “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Melindungi Hak Ekonomi dan Politik Warga Negara” didampingi moderator Kepala Sekretariat Tetap AACC dan Bagian Kerja Sama Luar Negeri MK Sri Handayani. Pemaparannya mengawali sesi kursus singkat internasional yang diadakan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada Rabu (6/11/2019) di Nusa Dua, Bali.
“Dengan diawali Reformasi, terjadi perubahan yang sangat luar biasa, yaitu adanya tuntutan untuk dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945,” ungkap Enny. Sebelum perubahan ini dilakukan, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan TAP MPR No. XVII/MPR/1998 yang mengatur secara lengkap HAM, yang tidak diatur dalam UUD 1945. Ketetapan ini mengatur hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, serta hak atas pembangunan. Selain itu, diterbitkan pula UU No. 39/1999 mengenai HAM yang memperkuat pengaturan HAM dalam ketetapan MPR tersebut.
Perubahan UUD 1945 yang mengatur HAM adalah perubahan yang kedua. “Ini memberikan suatu keyakinan kepada seluruh warga negara Indonesia bahwa UUD telah mengakomodasi satu materi muatan yang sangat penting … di dalam menjadikan manusia (Indonesia) manusia seutuhnya, yang terlindungi hak sipil dan politiknya, hak ekonomi, sosial, dan budayanya, serta haknya atas pembangunan,” tambahnya.
Selain itu, Enny menyoroti beberapa putusan MKRI yang menjadi perbincangan hangat dalam masyarakat, salah satunya Putusan MK No. 22/PUU-XV/2017 mengenai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkara ini diajukan oleh beberapa wanita yang dipaksa menikah di bawah umur karena faktor ekonomi dan mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Dalam perkara ini, MK memutus bahwa ketentuan batas usia perkawinan bagi wanita pada usia 16 tahun adalah inkonstitusional. Menanggapi putusan ini, badan legislatif (DPR) menetapkan perubahan provisi ini sehingga batas usia perkawinan bagi perempuan sama dengan laki-laki, yaitu 19 tahun tanpa ada lagi dispensasi, seperti yang selama ini sering terjadi. Putusan MK lainnya yang dibahas oleh Enny termasuk mengenai alokasi 20% APBN untuk anggaran pendidikan, perlindungan terhadap anak yang lahir di luar ikatan perkawinan, perlindungan terhadap hak wanita atas property, dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat.
Menanggapi pemaparan tersebut, Vera W. Soemarwi dari Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara menyampaikan harapan para ahli, aktivis HAM, dan masyarakat Indonesia kepada MKRI agar hak-hak masyarakat yang termarjinalkan, terutama masyarakat miskin dan masyarakat adat, dapat terakomodasi. Menjawab harapan tersebut Enny menyatakan, “Boleh saja MK diberi harapan lebih untuk melakukan sesuatu, tetapi harapan itu harus kembali kepada batas kewenangan MK.”
Kegiatan kursus singkat internasional ini merupakan bagian rangkaian acara “The 3rd Indonesian Constitutional Court International Symposium (ICCIS 2019)” yang diadakan Senin-Kamis (5-7/11/2019). Acara ini diisi dan dihadiri oleh para akademisi dan praktisi hukum konstitusi dari berbagai negara. (Yuniar Widiastuti)