BALI, HUMAS MK – Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dalam kapasitas sebagai Sekretaris Tetap The Association of Asian of Asian Constitutional Court (AACC) Bidang Perencanaan dan Koordinasi menyelenggarakan Call for Paper bagi para ahli, peneliti senior, dan akademisi Indonesia dan luar negeri. Kegiatan dengan tema “Constitutional Court and the Protection of Social and Economic Rights” ini digelar pada Rabu (6/11/2019) di Nusa Dua, Bali.
Pada kesempatan sesi kedua kegiatan ini, dihadirkan tiga pemakalah yakni Melissa Crouch dari University of New South Wales dengan tulisan berjudul “Court Reform after Authoritarian Rule: Specialised Courts and Corruption in Indonesia”, Stefanus Hendrianto dari University of San Francisco dengan makalah berjudul “The Unfulfilled Promise of SocioEconomic Rights in Indonesia: The Case of the Right to Social Security”, dan Andy Omara dari Universitas Gadjah Mada dengan paparan berjudul “How Far the Indonesian Constitutional Court Involved in the Fulfillment of Economic and Social Rights?”.
Pada kesempatan pertama, Melissa Crouch mengemukakan adanya masa transisi demokratisasi dari pemerintahan otoriter menekankan pada dilaksanakannya pembaruan pengadilan. Seperti halnya pada pengadilan di Indonesia saat diawalinya reformasi dengan dibentuknya pengadilan khusus. Dengan menggunakan pendekatan Lev terhadap hukum Indonesia, Melissa melihat ada sebuah penawaran untuk dilakukannya reformasi terhadap budaya hukum. Menurut Melissa, hal ini perlu mengingat Indonesia telah mengalami penurunan kerjadan bahkan buruknya mengalami peningkatan kasus korupsi.Sehingga perlu meninjau lebih dalam hubungan antara lembaga peradilan dan politik dan proses ekonomi serta keterhubungannya dengan pengadilan dan perubahan di Indonesia.
Meminjam teori dari Lev, Melissa memetakan bagaimana posisi hakim mengalami penurunan karena jaksa dan militer terlibat dalam lini kekuasaan negara.Untuk itu, sambung Melissa, perlu dipertimbangkan kembali makna dan tujuan sistem peradilan, konsepsi keadilan di tempat kerja, dan nilai-nilai hukum serta penggunaannya sebagai alat pemerintahan.Dengan adanya reformasi pada 1998, peradilan di Indonesia telah berubah secara signifikan dengan dibentuk pengadilan khusus yang secara konsentrasi bidang kerja berbeda dengan pengadilan umum.
“Saya mengidentifikasi bahwa pengadilan khusus menghadapi tantangan bersama untuk mendirikan lembaga peradilan baru di bawah kondisi yang sulit serta tantangan dengan harus menyeimbangkan
hakim karir dengan hakim non-karir, serta masalah terkait korupsi, profesionalisme, dan kompetensi,” jelas Melissa dihadapan peserta Call for Paper yang pada sesi kedua ini dimoderatori oleh Zainul Daulay dari Universitas Andalas.
Lebih lanjut, Melissa mengungkapkan dengan adanya reformasi pengadilan setelah pemerintahan otoriter, maka lembaga ini pun akan menghadapi tantangan yang signifikan. Karena, lanjut Melissa, warisan dari masa lalu tidak mudah diatasi dengan reformasi kelembagaan. Bahwa pengadilan khusus diakui dapat menawarkan satu strategi tetapi bukan solusi mudah untuk menangani masalah-masalah yang mengakar dari kekuasaan otoriter selama beberapa dekade.Melalui tulisannya, Melissa melihat bahwa pengadilan khusus telah berupaya menawarkan kesempatan untuk berpikir kreatif dan menata kembali struktur serta prosedur peradilan.
Ruang Lingkup Jaminan Sosial
Pada kesempatan selanjutnya, Hendrianto mengulas tentang pemaknaan keputusan Pengadilan tentang Jaminan Sosial di Indonesia. Menurutnya, MKRI telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap proses demokrasi di Indonesiamelalui peradilannya yang terbuka bagi warga negara untuk membela hak konstitusionalnya. Namun demikian, pengadilan belum berhasil melakukan peninjauan yang berarti atas hak-hak sosial ekonomi khusunya terhadap serangkaian hak atas jaminan sosial yang juga terkait dengan hak ekonomi warga negara.
Dalam penelitian sederhananya ini, Hendrianto mengamati bahwa keputusan pengadilan terkait hak atas jaminan sosial hanya mencerminkan kecenderungan umum dalam pendekatan pengadilan. Pada akhirnya Mahkamah sangat bergantung pada gagasan tentang kewajiban negara untuk memberikan manfaat jaminan sosial. Sehingga, dalam hal ini Mahkamah terkesan meninggalkan ruang lingkup dan makna hak atas jaminan sosial itu sendiri. Dalam contoh kasus, Hendrianto mengangkat permasalahan UU BPJS yang dalam pandangannya tidak secara eksplisit mengakui hak atas jaminan sosial. “Faktanya dalam undang-undang tersebut hanya mendefinisikan hak atas jaminan sosial lebih sempit sebagai bentuk asuransi sosial yang berbeda, meliputi asuransi kesehatan, tabungan hari tua, pensiun pekerja, asuransi kecelakaan kerja, dan tunjangan kematian,”ujarnya.
Mendapati fenomena ini, Hendrianto masih melihat bahwa keputusan Mahkamah dalam hak-hak jaminan sosial masih melihat minimalnya referensi terhadap Perjanjian Internasional Hak Ekonomi Sosial dalam meratifikasi sebuah perjanjian. Mahkamah Konstitusi Ri dalam hal ini masih belum mengambil pendekatan intervensionis dalam litigasi terkait dengan hak atas jaminan sosial. Sehingga, yurisprudensi hak-hak sosial ekonomi di Indonesia tidak didasarkan pada gagasan tentang hak individu, namun masih berpedoman pada penafsiran pengadilan terhadap ketentuan sosial ekonomi sebagai kewajiban negara. “Tidak adanya yurisprudensi yang kuat tentang hak-hak sosial-ekonomi di Indonesia akan memungkinkan postur hak sosial-ekonomi tetap rendah. Hingga akhirnya ada terobosan di Mahkamah Konstitusi, maka hak-hak sosial ekonomi di Indonesia akan tetap menjadi konstitusionalisasi yang tidak dibentuk di Indonesia,” jelas Hendrianto.
Keterlibatan Pengadilan dalam Perlindungan Hak Ekonomi Sosial
Menurut Omara dalam tulisannya bahwa perdebatan tentang cabang pemerintahan yang lebih berwenang menangani hak ekonomi sosial masih terus bergulir, termasuk juga keberadaan pengadilan yang masih kurang didukung oleh legitimasi dalam menentukan hak-hak ekonomi sosial yang dimaksud. Dalam paparannya, Omara menyebutkan beberapa contoh permasalahan perlindungan hak ekonomi sosial dalam putusan pengadilan yang berdampak signifikan dalam perlindungan hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat di Indonesia. Di anataranya yaitu kasus UU Ketenagalistrikan, UU Sumber Daya Air, Sistem Pendidikan Nasional Hukum dan Hukum Anggaran Nasional.
“Dalam hal ini, peran pengadilan harus dilakukan dengan cara yang sangat hati-hati dan strategis sehingga tidak melanggar yurisdiksi cabang-cabang pemerintah lainnya seperti yaitu pemerintah dan anggota parlemen,” terang Omara.
Dalam pandangannya, pengadilan harus dilengkapi dengan kompetensi dan pengetahuan yang diperlukan mengenai masalah ini agar suara minoritas yang mungkin tidak terdengar dalam proses legislatif, tetap dapat dipertahankan melalui proses peradilan. Dan pada sisi lain, apabila kewenangan Mahkamah ini digunakan secara tepat tanpa kompetensi yang tepat, pengetahuan dan pertimbangan keputusan maka akan berakhir pada ketegangan dengan cabang-cabang pemerintah lainnya terutama anggota parlemen. Sehingga ini juga dapat berdampak negatif bagi masyarakat luas.
Kegiatan Call for Paper ini merupakan acara yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara MKRI yang menjadi bagian dari rangkaian The 3rd Indonesian Constitutional Court International Symposium (ICCIS 2019). Kegiatan ini diselenggarakan selama dua hari (6 – 7/11/2019), yang dalam setiap sesinya menghadirkan dua atau tiga pemakalah dari berbagai negara seperti Australia, Bangladesh, Cina, Kolombia, Jerman, Malaysia, Indonesia, Kenya, Kirgistan, Palestina, Rusia, Spanyol, Belanda, Inggris, Amerika Serikat, dan Turki. Untuk kemudian, didiskusikan dalam forum terbuka oleh pemakalah lainnya. (Sri Pujianti)