JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan untuk seluruhnya terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI). Hal tersebut disampaikan oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya dalam Sidang Pengucapan Putusan yang digelar pada Rabu (23/10/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang diajukan oleh Marion Kova dalam Perkara Nomor 46/PUU-XVII/2019 ini menilai Pasal 28 Ayat (1) huruf c UU MA dan Pasal 57 UU PPHI bertentangan dengan UUD 1945.
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan warga negara Indonesia, yang sebelumnya bekerja di Perum Peruri namun telah diberhentikan karena dianggap telah menyebarkan fitnah terhadap para pengurus Perum Peruri sehubungan dengan pengaduan Pemohon kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 4 April 2014 terkait persoalan mesin di Perum Peruri. Tindakan Pemohon tersebut menurut Perum Peruri merupakan tindakan yang dilarang dan harus secara serta-merta dinilai sebagai suatu “kesalahan berat” berdasarkan ketentuan Pasal 108 ayat (45) Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Peruri Periode 2014- 201. Akibatnya, pada 18 Maret 2015 Pemohon dikenakan skorsing dalam rangka pemutusan hubungan kerja oleh Perum Peruri, selain juga dilaporkan ke kepolisian dengan tuduhan Pasal 310 ayat (2) dan Pasal 311 ayat (1) KUHP (pasal-pasal mengenai penghinaan).
Melalui Hakim Konstitusi Suhartoyo, Mahkamah menyampaikan bahwa pokok permasalahan dalam permohonan Pemohon pada perkara a quo adalah apakah benar norma Pasal 57 UU PPHI menjadi hambatan bagi Pemohon untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Karena pasal a quo menurut Pemohon dijadikan dasar oleh Mahkamah Agung untuk menerbitkan SEMA 3/2018. Akibatnya, sambung Suhartoyo, hal tersebut membatasi hak Pemohon untuk dapat melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali dalam perkara yang dialami oleh Pemohon. Maka, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut konstitusionalitas Pasal 57 UU PPHI tersebut, penting bagi Mahkamah untuk mengaitkan dengan konstitusionalitasnya dengan perkara yang pernah diputus Mahkamah melalui permohonan perkara Nomor 34/PUU-XVII/2019 pada 23 September 2019.
Mahkamah melihat dalam kedua permohonan norma a quo ini memiliki tujuan yang sama karena berkaitan agar dapat diajukan upaya hukum Peninjauan Kembali terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara Perselisihan Hubungan Industrial. Melalui pertimbangan hukum, jelas Suhartoyo, Mahkamah berpedoman pada putusan terdahulu yakni Putusan Nomor 34/PUU-XVII/2019. “Maka berlaku sifat mutatis mutandis sebagai pertimbangan hukumnya. Bahwa dalam permohonan a quo dinyatakan Pasal 57 UU PPHI adalah konstitusional,” ucap Suhartoyo.
Bukan Kewenangan
Selanjutnya berkaitan dengan dalil permohonan Pemohonan sebagai dampak apabila permohonan a quo dikabulkan, termasuk yang berkaitan dengan dapat dijadikannya novum serta eksistensi legalitas SEMA 3/2018 adalah bukan kewenangan Mahkamah untuk menilai hal tersebut. Oleh karena itu, tidak relevan untuk Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut permohonan a quo. “Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut, maka permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ucap Suhartoyo. (Sri Pujianti/LA)