JAKARTA, HUMAS MKRI – Permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) yang dimohonkan oleh anggota mafia 240 kg sabu-sabu, Andi alias Aket alias Liu Kim Liong ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan Nomor 44/PUU-XVII/2019 dibacakan oleh Wakil Ketua MK Aswanto pada Rabu (23/10/2019) di Ruang Pleno MK.
Pemohon telah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana pemufakatan jahat tanpa hak atau melawan hukum sebagai perantara dalam jual-beli atau menerima narkotika golongan I berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor 109/PID/2018/PT BTN tanggal 9 Januari 2019, dengan amar putusan yang intinya menjatuhkan hukuman mati. Untuk itu, Pemohon menguji Pasal 132 Ayat (1) UU Narkotika yang dinilai menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum yang merugikan hak dan kewenangan konstitusi publik. Hal yang tidak dapat disangkal, Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika diundangkan oleh para penyelenggara negara dengan tujuan agar tindak pidana percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dan pelaku narkotika disamakan penjatuhan pidananya dengan tindak pidana sempurna. Hal tersebut jelas berakibat timbulnya ketidakadilan dan ketidakpastian hukum sehingga merugikan hak dan kewenangan konstitusi publik, termasuk Pemohon.
Menanggapi permohonan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa secara implisit terkandung maksud Pemohon agar Mahkamah memutus permohonan dengan langsung mengaitkannya dengan perkara konkret yang sedang dihadapi Pemohon. Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Mahkamah menegaskan tidak memiliki kewenangan tersebut.
Sementara terkait dalil Pemohon yang menyebut Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika tidak memberikan kepastian hukum, Mahkamah berpendapat tidak terdapat persoalan ketidakpastian hukum dalam rumusan norma Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika. Sebab, Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika jelas merujuk Pasal 114 UU Narkotika.
“Dengan telah jelasnya rujukan dimaksud maka persoalan pidana apa yang akan diterapkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika sepenuhnya merupakan kewenangan dan penilaian hakim yang memutus kasus konkret yang sedang diadilinya sesuai dengan faktafakta yang ditemukan dalam persidangan. Mahkamah tidak berwenang mencampurinya,” ujar Arief.
Pemohon juga mendalilkan pemberlakuan ancaman pidana yang sama bagi pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika dengan pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 114 UU Narkotika tidaklah tepat jika dikatakan tidak adil. Mahkamah berpendapat dilihat dari perspektif fungsi khusus hukum pidana, yaitu melindungi kepentingan hukum, tidak boleh dilupakan bahwa kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana bukan semata-mata kepentingan hukum individu, tetapi juga kepentingan hukum masyarakat dan kepentingan hukum negara.
“Tidak pula boleh dilupakan bahwa UU Narkotika, sebagaimana juga Konvensi Narkotika dan Psikotropika, adalah pada dasarnya menekankan pada fungsi pencegahan berkembang dan meluasnya kejahatan narkotika dan psikotropika. Fungsi demikian menuntut, salah satunya, pemberian ancaman sanksi yang keras dan tegas bagi pelaku kejahatan atau tindak pidana ini,” tegas Arief. (Lulu Anjarsari)