JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (9/10/2019) di Ruang Sidang Pleno. Sidang perkara dengan Nomor 53/PUU-XVII/2019 dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Manahan MP. Sitompul dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Dalam sidang perbaikan permohonan ini, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak selaku Pemohon mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan sejumlah perbaikan sesuai dengan nasihat Hakim dalam sidang pendahuluan. Ia mengatakan Pemohon memperbaiki dengan menambah serta merenvoi permohonan pada P1 yang seharusnya tetap menggunakan UU Nomor 1 Tahun 1946 dan menambahkan P4 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang perubahan KUHP. “Saya tetap menguji KUHP hanya saja dasar hukumnya kedua UU tersebut,” ujar Zico di hadapan Majelis Hakim Konstitusi. Selain itu, dia mengatakan bahwa telah mengutip putusan-putusan MK sebelumnya di dalam permohonannya.
Dalam perbaikan ketiga, Zico juga menambahkan beberapa hal mengenai kerugian konstitusional antar generasi dan alasan kenapa Mahkamah harus mengakui kerugian konstitusional antar generasi tersebut. Sedangkan untuk perbaikan terakhir, pada bagian petitum menerima dan mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya, menyatakan Pasal 107 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1945 tentang KUHP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun” atau petitum alternatif menyatakan frasa yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian yang terpendam dalam pasal 107 b KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Serta memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya.
Pada persidangan sebelumnya, Pemohon mendalilkan adanya satu hambatan terbesar dalam meningkatkan kesadaran terhadap Pancasila, yaitu menghadapi orang-orang yang ingin mengganti Pancasila menguji Pasal 107 ayat (1) UU Nomor 1/1946 yang berbunyi sebagai berikut: “Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
Menurut pemohon, saat ini, tidak ada aturan hukum yang melarang siapapun untuk mengampanyekan mengganti Pancasila dengan ideologi lain apapun, kecuali Marxisme-Leninisme. Akibatnya, terdapat pemikiran untuk mengganti Pancasila, baik itu dengan liberalisme maupun khilafah. Ia berpendapat bahwa seluruh pasal yang diuji ketentuan sanksi pidana terpusat pada pengaturan akan penyebaran paham komunisme/Marxisme-Leninisme, padahal ancaman mengganti Pancasila tidak lagi hanya datang dari paham tersebut namun juga datang dari paham-paham lainnya.
Padahal, jelas dalam status quo pada saat ini, siapapun yang melakukan upaya atau tindakkan untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara tidak dapat dipidana, selama upaya atau tindakkannya tersebut tidak berakibat pada timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda. Karenanya, pasal a quo dalam UU KUHP tidak memberikan perlindungan hukum yang adil karena tidak melindungi Pancasila sebagai dasar negara. Padahal, pasal tersebut merupakan kejahatan terhadap keamanan negara yang mencakup juga kejahatan terhadap ideologi negara. Pasal a quo juga tidak memenuhi paradigma tujuan pemidanaan apabila tidak melindungi Pancasila sebagai dasar Negara. Sehingga, berdasarkan alasan-alasan tersebut, melalui petitum, pemohon memohon MK menyatakan bahwa pasal yang diujikan tidak mempunyai kekuatan hukum dan bertentangan dengan UUD 1945. (Utami/LA)