LAMPUNG, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) bekerjasama dengan Universitas Bandar Lampung (UBL) mengadakan Seminar Nasional bertajuk “Optimalisasi Peran Perguruan Tinggi Dalam Implementasi Putusan MK Nomor 35/PUU-IX/2012 Terkait Pengakuan Hak Masyarakat Adat”. Acara ini merupakan wujud dari Penandatanganan Nota Kesepahaman antara MK dengan UBL, pada Selasa (1/10/2019) di Kampus Pascasarjana Universitas Bandar Lampung.
Sebagai pembicara dalam Seminar Nasional ini adalah Panitera MK Muhidin, ia mengungkapkan bahwa kriteria masyarakat hukum adat dalam putusan MK adalah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain maupun dalam peraturan daerah.
“Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia,” ungkapnya
Putusan Nomor 35/PUU-X/2012
tentang Penetapan Kawasan Hutan Adat. Permohonan ini diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, serta Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu. “Pengujian kata “negara” dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.”,” jelasnya dihadapan peserta seminar
Lanjut Muhidin, dalam pertimbangan hukumnya, Pertimbangan MK antara lain, harus ada pembedaan perlakuan terhadap hutan negara dan hutan adat, sehingga dibutuhkan pengaturan hubungan antara hak menguasai negara dengan hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat. “Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur peruntukan, pemanfaatan, dan hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara,” lanjutnya
Terhadap hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauh mana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Hutan adat ini berada dalam cakupan hak dalam satu kesatuan wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat hukum adat. Menurut Mahkamah Konstitusi, UU Kehutanan yang selama ini memasukan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan bentuk dari pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat dan merupakan pelanggaran konstitusi.
Beberapa produk hukum terbit sebagai implementasi dari putusan MK tersebut diantaranya Peraturan Menteri (PerMen) Kehutanan No. P.62/Menhut-II/2013 tentang Perubahan Atas PerMen Kehutanan No. P.44/MENHUT-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan, UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, serta PerMen Agraria dan Tata Ruang (ATR) No. 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu.
Sementara, Lego Karjoko Dosen FH UNS menjelaskan pemerataan akses pemanfaatan sumber daya alam bagi masyarakat hukum adat, berdasarkan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi negara harus mewujudkan pemerataan manfaat sumberdaya hutan berbasis partisipasi masyarakat.
Untuk mencegah hubungan-hubungan hukum yang bersifat penindasan terhadap masyarakat hukum adat oleh perusahaan, perjanjian pemanfaatan hutan tidak boleh diserahkan pada persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan sendiri. “Akan tetapi pemerintah akan memberi ketentuan-ketentuan tentang cara dan syarat-syaratnya, agar dapat memenuhi pertimbangan keadilan dan dicegah cara-cara pemerasan,” tandasnya
Selain itu, Dosen FH Universitas Bandar Lampung Lintje Anna Marpaung mengungkapkan penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari penyelenggaraan pendidikan nasional, tidak dapat dilepaskan dari amanat pasal 31 ayat (3) UUD 1945. “Dalam rangka menghadapi perkembangan dunia yang makin mengutamakan basis ilmu pengetahuan pendidikan tinggi diharapkan mampu menjalankan peran strategis dalam memajukan peradaban dan kesejahteraan umat manusia,” ungkapnya
Penetapan hak masyarakat hukum adat, lanjutnya, perlu adanya peraturan daerah, hal inilah yang pernah diimplementasikan seiring dengan prinsip perguruan tinggi dengan tri dharma melalui pemerintah dan pengabdian kepada masyarakat secara rutin berkesinambungan di pemerintahan daerah sebagai kegiatan otonomi daerah.
Dengan demikian, hak masyarakat hukum adat yang terkesan merupakan tanah terlantar selama ini, akan menjadi produktif dan menjadi kemakmuran bagi masyarakat. “Khususnya masing-masing masyarakat hukum adat itu sendiri dan yang terjadi di seluruh wilayah NKRI, tentu akan mempercepat proses peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat indonesia,” tutupnya (Bayu/LA)