JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan pemeriksa Keuangan (UU BPK) dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU Pengelolaan Keuangan Negara) di Ruang Sidang Pleno MK, Rabu (25/9/2019).
Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 54/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh Ahmad Redi (Pemohon I) dan Muhammad Ilham Darmawan (Pemohon II) yang berprofesi sebagai dosen serta Kexia Goutama (Pemohon III) yang merupakan mahasiswa. Dalam permohonan, para Pemohon menyatakan Pasal 6 ayat (3) UU BPK berbunyi, “Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu,” dan Pasal 4 ayat (1) UU Pengelolaan Keuangan Negara berbunyi, “Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” bertentangan dengan UUD 1945.
Viktor Santoso Tandiasa selaku kuasa hukum para Pemohon menyatakan Pemohon I dan II adalah dosen yang merupakan pakar hukum yang dalam profesinya aktif dalam forum ilmiah dan memberikan pendapat hukum serta sering juga menyampaikan kritik yang bersifat konstruktif kepada lembaga penyelenggara pemerintahan. Secara keilmuan, para Pemohon memahami kewenangan BPK diatur dalam Pasa 23E Ayat (1) UUD 1945 yakni memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, sedangkan terkait dengan pemeriksaan kinerja sebagaimana disebutkan dalam kewenangan BPK pada UU BPK itu tidak dapat dilakukan penambahan kewenangan. Hal ini juga termuat dalam Putusan MK Nomor 43/PUU-XIII/2015, Nomor 12/PUU-XII/2014, dan Nomor 97/PUU-XI/2013. Namun, setelah diundangkannya UU Pengelolaan Keuangan Negara terdapat penambahan kewenangan BPK berupa pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT). Sehingga kewenangan tambahan ini menurut Pemohon I dan II adalah inkonstitusional karena tidak sesuai dengan UUD 1945.
“Maka sejatinya, kewenangan itu adalah inkonstitusional karena telah memperluas kewenangan konstitusional yang telah diberikan UUD 1945 secara eksplisit dan limitatif,“ sampai Aida Mardatillah selaku kuasa hukum lainnya dihadapan sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Manahan M.P. Sitompul.
Di samping itu, sambung Aida, PDTT yang kemudian dikukuhkan dengan peraturan perundang-undangan Pasal 5 huruf a dan huruf f UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan. Akibat dari hal ini adalah terjadinya potensi abuse of power yang dapat saja disalahgunakan BPK. Sehingga potensi ini dapat menghambat jalannya proses pengawasan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Apabila hal ini terjadi timbul kerugian para Pemohon dalam menjalankan tugas sebagai akademisi saat harus menjelaskan konstitusionalitas PDTT kepada mahasiswa padahal lembaga negara yang dimaksud sudah mendapatkan Status Wajar Pengecualian (WTP) sebelum dilakukan pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan kinerja.
Adapun terhadap Pemohon III merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak mendapatkan kepastian atas apa yang dipelajari di ruang perkuliahan terkait kewenangan PDTT yang ternyata tidak sejalan dengan ketentuan norma yang berlaku. Untuk itu, para Pemohon memohonkan agar Mahkamah menyatakan Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU Pengelolaan Keuangan Negara terhadap frasa “dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Risalah Pengubahan
Menanggapi hal ini, Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta agar para Pemohon dapat membantu Mahkamah untuk menelusuri perdebatan saat disusunnya Pasa 23E Ayat (1) UUD 1945. Karena, sambung Saldi, hal ini terkait dengan penelusuran penyusunan UU UU Pengelolaan Keuangan Negara yang menyebutkan perihal tujuan dimasukkannya PDTT dalam kewenangan BPK dan kemudian pada UU BPK kewenangan tersebut tidak disertakan lagi. Padahal UU BPK tersebut merupakan norma yang terkait dengan institusinya langsung. Selain itu, Saldi juga meminta agar para Pemohon juga menjelaskan dampak yang ditimbulkan jika pasal mengenai pengelolaan keuangan negara dinyatakan inkonstitusional.
“Jadi, bagaimana penempatan kewenangan PDTT itu bisa dilekatkan pada pasal ini, kan ada substansinya pada Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, di mana letak penabrakannya. Jadi, perlu ditelusuri perdebatan ketika Pasal 23E Ayat (1) UUD 1945 ini dirumuskan, telusuri risalahnya. Perbandingkan risalah bahasannya,” jelas Saldi.
Kerugian Konstituional
Terkait dengan kedudukan hukum para Pemohon, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul melihat perlunya dijelaskan secara rinci kerugian aktual dan potensial dari dilaksanakannya kewenangan PDTT bagi para Pemohon. Karena Manahan melihat, bukankah seharusnya yang dirugikan adalah institusi yang berkali-kali telah mendapatkan status WTP, namun masih dilakukannya PDTT. Untuk itu, Manahan meminta agar Pemohon I dan II yang merupakan dosen dapat menyampaikan kajian atau hasil riset yang sudah dilakukan terhadap kewenangan BPK. “Coba jelaskan kepada kami ini mengapa PDTT ini masuk dalam kewenangan BPK. Kalau itu memang benar dari segi penelitian merupakan bagian dari kewenangan BPK, atau kalau tidak bagaimana pula. Mohon uraikan secara mendasar agar terlihat kerugian konstitusionalnya,” sampai Manahan.
Syarat Tertentu
Hakim Konstitusi Arief Hidayat melihat bahwa jika para Pemohon meminta agar ketentuan PDTT pada pasal tersebut dihilangkan, hal tersebut bukankah akan menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Arief menyarankan agar kewenangan tersebut tetap ada namun dibubuhi pernyataan syarat-syarat tertentu. Hal ini, nilai Arief, agar tetap ada kepastian hukum dan tidak adanya salah penafsiran terhadap norma tersebut. “Dengan tidak adanya syarat itu, bisa saja nanti kewenangan PDTT dijadikan alat yang berdampak negatif bagi lembaga ini. Kalau suatu intitusi dinyatakan WTP tetapi masih dilakukan PDTT, padahal sudah klop. Maka di sini catatan pentingnya bahwa PDTT bisa dilakukan jika pada institusi ditemukan indikasi-indikasi yang tidak wajar,” terang Arief.
Sebelum mengakhiri persidangan, Arief menyampaikan kepada kuasa para Pemohon untuk menyempurnakan permohonan dan menyerahkan selambat-lambatnya pada Selasa, 8 Oktober 2019 Pukul 14.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/NRA).