JAKARTA, HUMAS MKRI - Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Demikian Putusan Nomor 34/PUU-XVII/2019 yang diajukan oleh PT. Hollit Internasional.
“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 56 UU PPHI tidak dapat diterima. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya,” tegas Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan, Senin (23/9/2019).
Mahkamah mempertimbangkan petitum Pemohon agar Pasal 56 UU PPHI konstitusional bersyarat “sepanjang dimaknai prosesnya termasuk upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa, berdasarkan hukum acara perdata umum yang berlaku di Negara Republik Indonesia”.
Menurut Mahkamah, pada alasan permohonan, Pemohon hanya menjelaskan norma pengujian yakni Pasal 56 huruf c UU PPHI dan sama sekali tidak terdapat argumentasi pertentangan norma antara Pasal 56 UU PPHI dengan UUD 1945. “Dengan demikian, menurut Mahkamah. petitum tersebut adalah kabur,” kata Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul yang membacakan pendapat Mahkamah.
Mahkamah berpendapat, ketentuan dalam Pasal 34 UU MA yang memungkinkan dilakukannya Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tidak boleh diartikan bahwa setiap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan PK.
“Pengaturan dalam Pasal 34 UU MA tersebut adalah pengaturan yang bersifat umum (lex generalis) harus dimaknai bahwa PK hanya dapat dilakukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sepanjang ketentuan umum tersebut tidak dikecualikan oleh ketentuan undang-undang yang bersifat khusus (lex specialis), baik karena sifat perkaranya maupun karena syarat-syarat yang ditentukan untuk dapat diajukannya PK,” urai Manahan.
Dalam konteks demikian, menurut Mahkamah, Pasal 56 UU PPHI merupakan bentuk norma hukum spesialis dari Pasal 34 UU MA. Kekhususan demikian diberikan dengan pertimbangan agar penyelesaian perkara hubungan industrial ditujukan untuk menjamin terlaksananya asas cepat, tepat, adil, dan murah. Sehingga dengan meniadakan tahapan PK, maka diharapkan tidak terganggunya proses produksi pada suatu perusahaan yang mempekerjakan karyawan.
“Dengan demikian, dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 56 huruf c UU PPHI adalah tidak beralasan menurut hukum. Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 56 UU PPHI adalah kabur. Sedangkan sepanjang berkenaan dengan Pasal 56 huruf c UU PPHI adalah tidak beralasan menurut hukum,” tandas Manahan.
Sebagaimana diketahui, permohonan yang teregistrasi dengan nomor 34/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh PT. Hollit International yang diwakili Direktur Anne Patricia Sutanto. Pemohon melakukan pengujian Pasal 56 UU PPHI yang menyebutkan, “Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus: a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak; b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja; d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.”
Pemohon berdalil telah dirugikan dengan berlakunya undang-undang tersebut yang secara jelas dan terang telah menghilangkan hak Pemohon. Terutama mengenai “perlakuan dan kepastian hukum secara adil di hadapan hukum negara”. Hal ini terlihat dari proses penyelesaian permasalahan di Pengadilan Hubungan Industrial. Pemohon digugat atas perkara perselisihan pemutusan hubungan kerja yang pada pengadilan tingkat pertama, gugatan tersebut ditolak. Namun, penggugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan dikabulkan. Putusan MA menyatakan Pemohon (tergugat) telah melanggar perjanjian bersama tanggal 19 Juli 2017 antara penggugat dan tergugat. Pihak tergugat juga diharuskan membayar hak-hak penggugat sebesar Rp. 302.442.525,00 (tiga ratus dua juta empat ratus empat puluh dua ribu lima ratus dua puluh lima rupiah).
Pemohon menilai ada ketidaksempurnaan majelis hakim dalam memutuskan perkara penggugat. Pemohon menemukan ada bukti baru sehingga Pemohon akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan kasasi yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (incraht). Meski Pemohon sadar bahwa menempuh upaya hukum luar biasa tersebut tidak diatur atau tidak ada dasar yang kuat dalam UU PPHI. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan pasal yang diujikan tidak mempunyai kekuatan hukum dan bertentangan dengan UUD 1945. (Nano Tresna Arfana/NRA).