JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Provinsi Papua) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (23/9/2019) siang. “Pada kesempatan kami akan melakukan renvoi berkaitan dengan profesi para Pemohon. Dalam permohonan tertulis kapasitas para Pemohon sebagai petinggi parpol, kami renvoi sebagai karyawan swasta,” kata Habel Rumbiak selaku kuasa hukum para Pemohon.
Selain itu, para Pemohon memperbaiki kedudukan hukum. Para Pemohon merasa dirugikan karena ketidakpastian Pasal 28 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang telah diubah. Pengubahan itu dalam rangka penerapan otonomi khusus yang sebelumnya di Provinsi Papua, kemudian diterapkan pula di Provinsi Papua Barat.
Berikutnya, para Pemohon memperbaiki terkait surat kuasa. “Ada perbaikan pada surat kuasa yang berkaitan dengan jabatan masing-masing,” jelas Habel kepada Majelis Hakim Panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Sebagaimana diketahui, para Pemohon adalah Krisman Dedi Awi Janui Fonataba dan Darius Nawipa yang menguji frasa “Partai Politik” pada Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang a quo yang menyebutkan, “Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik.”
Pemohon Perkara Nomor 41/PUU-XVII/2019 ini menyampaikan sejumlah alasan permohonan. Kerugian konstitusional yang dialami Permohon bermula pada kasus konkret yang dihadapinya yaitu ditolaknya partai politik Pemohon untuk berpartisipasi dalam Pemilu Legislatif Tahun 2019 oleh KPU Provinsi Papua dan telah dibatalkannya Keputusan Pengesahan Partai Papua Bersatu sebagai badan hukum oleh Kementerian Hukum dan HAM. Alasan penolakan KPU Provinsi Papua untuk melakukan verifikasi karena belum adanya ketentuan hukum yang secara tegas mengatur keberadaan partai politik lokal di Provinsi Papua. Kemudian, pendirian Partai Papua Bersatu merupakan wujud dari hak asasi warga negara yang dilindungi oleh konstitusi yaitu kebebasan untuk berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat, karenanya wajib diberi ruang oleh peraturan perundang-undangan dibawahnya, termasuk Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.
Dijelaskan Pemohon, awalnya dalam Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, maksud Pasal 28 ayat (1) adalah untuk memproteksi penduduk lokal di Papua agar selalu terwakili pada lembaga legislatif di daerah Provinsi Papua. Karena Provinsi Papua pada akhirnya diberlakukan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua tersebut, menurut Pemohon, partai politik dimaksud adalah partai politik lokal. Selain karena basis dukungannya semata-mata di wilayah Provinsi Papua, utamanya adalah landasan hukumnya bersifat khusus sesuai dengan prinsip hukum lex specialis derogat legi generalis. (Nano Tresna Arfana/LA)