TANGERANG, HUMAS MKRI - Ketika dilakukannya amendemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) pada rentang waktu 1999 – 2002, maka ide memasukkan kewenangan kekuasaan kehakiman untuk melakukan uji undang-undang terhadap UUD 1945 kembali muncul. Sehingga kewenangan tersebut diputuskan untuk dibuat badan peradilan tersendiri dan disepakati dibentuk Mahkamah Konstitusi dengan berpedoman pada Pasal 24C UUD 1945. Hal ini disampaikan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam pertemuan internasional hari kedua kegiatan “The 1st International Expert Meeting 2019” dengan tema “Peran Lembaga Peradilan Untuk Memajukan Keadilan Sosial serta Melindungi Hak Ekonomi dan Sosial” pada Sabtu (21/9/2019) di Serpong, Tangerang.
Lebih lanjut, Saldi menjabarkan setelah amendemen konstitusi tersebut, maka dalam peraturan perundang-undangan Indonesia terdapat hierarki. Aturan tertinggi, sambungnya, mulai dari UUD 1945, undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah provinsi, dan peraturan daerah kabupaten/kota. Sehingga hierarki ini pulalah kemudian yang memilah kewenangan MA dan MK dalam sistem peradilan Indonesia dan terdapat pula dua fungsi yang dibedakan tempat atau lembaganya, namun memiliki kedudukan yang sama dengan bahasan yang berbeda.
Saldi menyampaikan bahwa setelah terbentuknya MK, maka lembaga ini memiliki beberapa tugas dan kewenangannya. MK berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum serta MK berkewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR apabila presiden dan/atau wakil presiden diduga melakukan pelanggaran (impeachment).
“Jadi, ada perbedaan konsep antara Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Mahkamah Konstitusi Repbulik Indonesia setelah amendemen itu. Di mana MA bertugas menyelesaikan masalah konvensional terkait kasus pencarian keadilan, sedangkan MK lebih pada persoalan konstitusionalitas norma,” jelas Saldi.
Bagian Khusus
Selanjutnya, Saldi juga menjabarkan dalam konstitusi Indonesia terdapat bagian khusus yang mengemukakan tentang hak asasi manusia, yakni pada Bab 11 UUD 1945. Pada bagian ini terdapat 10 pasal yang menyebutkan ketentuan HAM bagi warga negara Indonesia. Di samping ada pula aturan-aturan lainnya yang menjabarkan keberadaan hak-hak tersebut. Sebagai ilustrasi perhatian negara terhadap hak ekonomi sosial dan budaya masyarakatnya, Saldi menyebutkan pada Pasal 31 UUD 1945 terdapat bahasan mengenai anggaran pendidikan. Secara eksplisit, jelasnya, dinyatakan bahwa pemerintah harus menyediakan anggaran pendidikan sebesar minimal 20% dari anggaran negara. Dari hal ini, ia melihat betapa ketentuan tersebut telah memberikan perhatian besar pada peningkatan pendidikan di Indonesia. “Ketentuan seperti ini sangat jarang ada di konstitusi dunia yang menjabarkan secara jelas. Adapun negara yang menyebutkan hal ini itu adalah Taiwan, selebihnya belum ada negara yang juga mengatur anggaran minimum pendidikan,” jelas Saldi.
Konstitusionalis
Dalam pertemuan internasional ini, setiap peserta berhak memberikan pertanyaan, kritik, dan berbagi pengalaman atas permasalahan hukum yang pernah dihadapi selaku akademisi dan praktisi hukum yang ada di negara masing-masing. Ketua MK Anwar Usman pun berkesempatan menjelaskan salah satu kewenangan MK untuk memakzulkan pimpinan negara.
Dalam pendapatnya, Anwar menyampaikan bahwa Indonesia adalah negara yang cukup beruntung karena memiliki presiden terutama sejak masa amendemen konstitusi berupa pimpinan negara yang konstitusionalis. Artinya, presiden adalah seorang kepala negara yang tunduk pada putusan yang telah diputuskan MK. Sebagai contoh, Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudoyono. Ia melihat, sosok kepala negara ini tidak hanya memahami putusan MK secara retorika, tetapi juga mempraktikkan putusan itu dengan segera.
“Ketika MK menjatuhkan putusan bahwa jabatan jaksa agung inkonstitusional, maka ia langsung selang beberapa hari memerhentikan jaksa agung. Dan pernah pula ketika MK menjatuhkan putusan jabatan wakil menteri inkontituisional, maka ia pun mengeluarkan keputusan presiden untuk memberhentikan 19 jabatan wakil menteri,” terang Anwar.
Oleh karena itu, sambuang Anwar, terkait dengan ketidaktundukan presiden untuk menjalankan amar putusan dan perlu dilakukan impeachment, maka konstitusi Indonesia membuat ketentuan tertentu sehingga hingga saat ini pun MK belum pernah menjalankan kewenangan ini karena bukanlah sebuah perkara yang sederhana prosesnya.
Sebagai informasi bahwa kegiatan ini berlangsung selama dua hari (20 – 21/9/2019) yang turut dihadiri oleh pemateri ahli seperti Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2013 – 2015 Hamdan Zoelva dan para narasumber dari negara sahabat, di antaranya Mantan Ketua Pengadilan Tinggi Australia Robert French, Universitas Johannesburg, Afrika Selatan Hennie Strydom, Hakim Mahkamah Agung India Indu Maholtra, Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Bosnia-Herzegovina Joseph Marko, Universitas Kathmandu sekaligus Penasihat Hukum Konstitusi untuk Presiden Nepal Surya Dhungel. (Sri Pujianti/LA)