JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) pada Kamis (12/9/2019). Perkara yang teregistrasi Nomor 45/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh Supriyono yang menilai Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) UU KIP bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945. Sidang yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK ini dipimpin Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Pasal 38 ayat (1) UU KIP berbunyi “Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota harus mulai mengupayakan penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima permohonan penyelesaian sengketa informasi publik” dan Pasal 38 ayat (2) UU KIP berbunyi “Proses penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat dapat diselesaikan dalam waktu 100 (seratus) hari kerja.”
Menurut Pemohon frasa “setelah” pada Pasal 38 ayat (1) dan frasa “dapat” pada Pasal 38 ayat (2) UU KIP bersifat multitafsir dan sangat berpotensi memunculkan kekeliruan tafsir. Dalam ilustrasi perkara, Pemohon menyebutkan bahwa frasa “dapat” pada pasal tersebut teraktualisasi saat proses penyelesaian sengketa informasi yang dialami Pemohon yang teregistrasi Nomor 005/III/KIP-PS/2018, yang pada proses ajudikasi nonligitasnya melebihi 100 hari.
“Padahal batas hukum itu memiliki dampak hukum lain. Sehingga frasa “dapat” dalam pasal a quo nyata-nyata menghambat Pemohon dalam upaya mengumpulkan bukti pada rencana melakukan penyelesaian perkara pengujian UU Ombudsman RI,” sampai Supriyono yang hadir sendiri tanpa didampingi kuasa hukum.
Untuk itu, Supriyono dalam petiumnya memohon agar Mahkamah menyatakan frasa “setelah” dalam Pasal 38 ayat (1) UU KIP tidak mempunyai hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dalam konteks semata-mata untuk menentukan hari pertama berlaku kewajiban sejak syarat permohonan formil terpenuhi dan tercatat dalam buku registrasi perkara informasi. Dan menyatakan frasa “dapat” dalam Pasal 38 ayat (2) UU KIP, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Masalah Implementasi
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam nasihatnya menyampaikan bahwa permasalahan yang diuraikan Pemohon lebih mengarah pada implementasi sebuah norma yang dijalankan suatu institusi. Menurut Suhartoyo, apabila Pemohon tetap memilih kata “setelah” dihilangkan maka apakah yakin dengan kepastian hukum yang diharapkan. Karena, sambung Suhartoyo, kata “setelah” tersebut dapat saja bermakna pelaksanaan pemeriksaan perkara yang telah teregistrasi tersebut dilaksanakan setelah hari-hari berikutnya. “Untuk itu, Pemohon tolong beri argumen tentang waktu tunggu itu seperti apa dan bagaimana. Demikian juga dengan kata “dapat” yang apabila dihilangkan maka dampak konsekuensi hukumnya seperti apa? Jika penyelesaian dapat diselesaikan lebih cepat bagaimana,” kata Suhartoyo.
Sedangkan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams melihat bahwa dalam permohonan Pemohon belum jelas kedudukan hukum Pemohon serta apabila permintaan Pemohon agar MK menghilangkan atau mengubah kata “setelah” dan kata “dapat” pada UU tersebut, dikhawatirkan dapat mengubah makna dari norma tersebut. Adapun Hakim konstitusi Enny melihat perkara yang diuraikan Pemohon lebih kepada kasus konkret dan bukan permasalahan konstitusionalitas norma.
Sebelum menutup persidangan Enny menyampaikan bahwa Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan dengan menyerahkan berkas perbaikan selambat-lambatnya pada Rabu, 25 September 2019 pukul 14.15 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/Budi Prasetyo/NRA).