JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pada Selasa (3/9/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang pendahuluan terkait dua perkara yang teregistrasi Nomor 37/PUU-XVII/2019 dan Nomor 38/PUU-XVII/2019 ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Enny Nurbaningsih. Akan tetapi, hingga persidangan dilaksanakan, sepuluh orang Pemohon Perkara Nomor 38/PUU-XVII/2019 yang mengabarkan akan mencabut permohonan, belum menyerahkan surat resmi terkait hal tersebut.
Perkara Nomor 37/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh tujuh Pemohon yang berasal dari berbagai profesi dan badan hukum. Para Pemohon, di antaranya Arjuna Pemantau Pemilu, M. Faesal Zuhri, dan Robnaldo Heinrich Herman. Dalam perkara ini, para Pemohon mendalilkan Pasal 167 ayat (3) yang berbunyi “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional,” dan Pasal 347 ayat (1) yang berbunyi “Pemungutan Suara Pemilu diselenggarakan secara serentak” sepanjang kata “serentak”. Menurut para Pemohon, melalui Viktor S. Tandiasa dan Yohanes Mahatma Pambudianto selaku kuasa hukum, pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
Yohanes saat menyampaikan alasan permohonan menyebutkan bahwa ketentuan Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 yang mengatur perihal penyelenggaraan pemilu seharusnya membawa kemaslahatan bagi rakyat dan tidak boleh merugikan kepentingan rakyat khususnya menyangkut nyawa manusia. Berpedoman dari kondisi sosial dan fenomena masyarakat saat terselenggaranya Pemilu Serentak 2019 dinilai pihaknya sangat berat dan memiliki tekanan yang cukup tinggi karena adanya penggabungan penyelenggaraan Pemilu Presiden/Wakil Presiden dengan Pemilu Anggota Legislatif. Bahkan, Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) mencatat 544 orang petugas penyelenggara pemilu meninggal dunia dan 3.788 orang jatuh sakit.
“Bahkan ini ditetapkan sebagai bencana kemanusiaan. Pelaksanaan Pemilu 2019 telah memakan banyak korban sehingga desain pemilu seperti ini (Pemilu 2019) perlu dijadikan evaluasi terhadap desain pemilu masa berikutnya,” jelas Johanes.
Selain itu, sambung Johanes, biaya penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 yang awalnya diduga lebih efisien dan menghemat uang negara, nyatanya berdasarkan keterangan Kementerian Keuangan menunjukkan adanya lonjakan anggaran sebesar 61% pada pelaksanaan pemilu serentak ini. “Artinya secara peribahasa jauh panggang dari api sebagaimana tujuan baik serta harapan dari Mahkamah Konstitusi saat memutus Perkara Nomor 14/PUU-XI/2013,” jelas Johanes.
Dengan demikian, jelas Johanes, apabila pendirian Mahkamah diletakkan dalam kondisi sosial-politik dan fenomena masyarakat meskipun mempunyai basis konstitusional, namun basis konstitusional menjadi tidak hidup sehingga tidak mampu menyerap kebutuhan masyarakat saat ini berlaku in casu memisahkan kembali pilpres dengan pemilu anggota lembaga perwakilan atau dengan konsep lainnya yang sesuai dengan kondisi zamannya. Untuk itu, dalam petitumnya para Pemohon memohonkan agar Mahkamah menyatakan pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Hukum Baru
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mempertanyakan kedudukan hukum Pemohon terutama yang mengatasnamakan pemantau pemilu. Menurutnya, apakah pemantau ini telah memiliki sertifikasi sebagai pemantau dan apakah nama-nama yang mewakili organisasi adalah pihak yang berhak mewakili organisasi di dalam atau di luar persidangan. Di samping itu, Enny juga belum menemukan secara jelas uraian kerugian konstitusional yang secara potensial dialami para Pemohon dengan berlakunya UU a quo.
Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam nasihatnya juga menyebutkan belum menemukan secara detail potensi kerugian konstitusional yang faktual dialami para Pemohon. Seharusnya, sambung Suhartoyo, jika para Pemohon ingin mengaitkannya dengan bencana kemanusiaan atas penyelenggaraan pemilu serentak, baiknya keluarga korbanlah yang berhak mengajukan permohonan a quo. “Atau pun jika pemantau yang mengajukan, maka pemantau mengajukan ada yang terganggu dengan prinsip-prinsip pemilu serentak ini. karena Kalau tidak ada, maka akan kehilangan kolerasilah dari hal-hal yang diajukan ini,” jelas Suhartoyo.
Selain itu, Suhartoyo juga memohonkan agar para Pemohon membangun sebuah argumen untuk menguatkan Mahkamah dalam memandang kebaruan dari permohonan yang diajukan para Pemohon sehingga terlihat pandangan baru yang juga merupakan tawaran baru atas pelaksanaan pemilu serentak ini. Bahkan Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam nasihatnya meminta para Pemohon untuk membawa gagasan baru terkait dengan hukum baru kepemiluan sehingga pengajuan uji UU ini tak sekadar asumsi yang akan membuyarkan ketetapan MK sebelumnya.
Sebelum menutup persidangan, Saldi mengingatkan para Pemohon untuk menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Senin, 16 September 2019 pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/Louisa/LA)