JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan Muhammad Helmi Kamal Lubis yang melakukan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana pensiun (UU Dana Pensiun). Hal tersebut diucapkan Ketua MK Anwar Usman dalam Sidang Pengucapan Putusan pada Selasa (21/5/2019) yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK.
Pemohon perkara Nomor 59/PUU-XVI/2018 ini mendalilkan pemberlakuan Pasal 14 juncto Pasal 52 ayat (1) huruf a dan ayat (4) UU Dana Pensiun yang mengatur mengenai lembaga yang berwenang untuk memeriksa laporan keuangan dana pensiun telah merugikan hak konstitusionalnya, baik kerugian yang bersifat spesifik maupun aktual.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam pertimbangan hukum, menyebutkan perlu untuk merujuk bagian Penjelasan Umum UU Dana Pensiun yang menyatakan beberapa asas dalam penyelenggaraan program pensiun melalui Dana Pensiun. Apabila norma tersebut dipersempit, imbuh Enny, maka hal itu akan menghilangkan esensi pendiri Dana Pensiun yang lain di luar badan hukum. “Hal demikian justru tidak memberikan perlindungan hukum bagi orang yang akan mendirikan Dana Pensiun atau bagi mitra pendiri Dana Pensiun yang akan bergabung dengan Dana Pensiun yang lain,” ujar Enny.
Berikutnya terkait dengan peristiwa konkret yang dialami Pemohon, yang menyatakan dana pensiun yang dipimpin Pemohon pernah diperiksa oleh auditor independen dengan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian. Hal demikian tidaklah membuktikan inkonstitusionalnya norma undang-undang a quo, melainkan bagian dari materi pembelaan Pemohon. Sehingga hal demikian bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilai dan mengadilinya. “Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, oleh karena tidak ada pertentangan antara norma Pasal 29 huruf a dengan UUD 1945, sehingga dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum,” urai Enny di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya.
Berwenang Memeriksa
Selanjutnya, Enny menyebutkan terkait dalil Pemohon agar audit terhadap laporan keuangan Dana Pensiun yang didirikan BUMN sah dan berkekuatan hukum, maka mahkamah berpendapat jika dilakukan Akuntan Publik tidak serta-merta menghilangkan kemungkinan dilakukan audit oleh BPK termasuk di dalamnya audit investigatif. Sebab, tegas Enny, terhadap subjek hukum apapun sepanjang di dalamnya terdapat pengelolaan uang negara, maka BPK berwenang melakukan pemeriksaan. Terlebih, norma yang dipersoalkan oleh Pemohon bersifat umum di mana pemeriksaan audit berlaku bagi semua Dana Pensiun. “Berdasarkan uraian pertimbangan di atas, dalil Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum,” ujarnya.
Selanjutnya, terhadap Pasal 52 ayat (4) UU Dana Pensiun yang didalilkan Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terutama apabila kata “dapat” tidak diubah menjadi “wajib”, Mahkamah mempertimbangkan bahwa pasal tersebut merupakan bagian dari sistem pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Menteri Keuangan terhadap Dana Pensiun. Maka menurut Mahkamah, dalil Pemohon adalah bentuk kekhawatiran Pemohon atas keterlibatan BPK dalam pemeriksaan langsung terhadap keuangan Dana Pensiun yang pendirinya adalah BUMN sebagaimana kasus konkret yang dihadapi Pemohon. “Dengan demikian, dalil Pemohon yang menghendaki agar pemeriksaan keuangan Dana Pensiun yang berasal dari BUMN wajib dilakukan oleh akuntan publik adalah tidak berdasar. Sehingga dalil Pemohon haruslah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum,” jelas Enny. (Sri Pujianti/LA)