JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang kedua uji materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat (UU Pembentukan Otonom Irba) pada Selasa (14/5/2019) di Ruang Sidang Panel MK. Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 35/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan 14 orang Pemohon yang terdiri atas beberapa Perwakilan Dewan Adat Papua, perseorangan warga negara serta Solidaritas Perempuan Papua dan Kemah Injil Gereja Masehi di Tanah Papua (Kingmi). Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Saldi Isra, para Pemohon menyebutkan bahwa frasa “Menimbang” dan “Penjelasan Umum Paragraf 7 dan 8” UU Pembentukan Otonom Irba bertentangan dengan UUD 1945.
Melalui Muhammad Busyol Fuad selaku salah satu kuasa hukum menyampaikan perbaikan permohonan terkait kedudukan hukum para Pemohon. Pada beberapa putusan Mahkamah diketahui yang dapat memiliki kedudukan hukum terhadap pengujian undang-undang yang berkaitan dengan pembentukan daerah adalah kepala daerah. Akan tetapi dalam hal ini, jelas Busyol, setelah dilakukan analisis, kajian, dan telaah pada beberapa putusan MK yakni Putusan Nomor 63/PUU-XI/2013 tentang Uji Materi Undang-Undang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah (terkait dengan pemekaran Surakarta dari Provinsi Jawa Tengah), Putusan Nomor 34/PUUXV/2017 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (adalah pembentukan Provinsi Madura).
“Bahwa dari hasil kajian tersebut, jika disandingkan dengan kedua putusan MK pengujian bagian konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 yang dilakukan para Pemohon, sama sekali tidak berkaitan dengan pemekaran daerah dan sangat berbeda dengan permohonan pengujian undang-undang berkaitan dengan pemekaran daerah sebagaimana telah diputus oleh MK,” urai Busyol.
Bahwa pengujian ini, tambah Busyol, hanya mempersoalkan mengenai konstitusionalitas bagian menimbang Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 yang didasarkan pada suatu pelaksanaan penentuan pendapat rakyat yang tidak demokratis dan melanggar sejumlah hak asasi manusia, khususnya orang asli Papua, baik ketika Pepera itu dilaksanakan hingga saat ini. Dengan demikian, baik Pemohon I hingga Pemohon XII sebagai Pemohon perorangan dan Pemohon XIII dan Pemohon XIV sebagai Pemohon badan hukum memiliki kedudukan hukum karena mengalami kerugian konstitusional terhadap pelaksanaan Pepera yang dijadikan dasar pembentukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969.
Menguji Konstitusionalitas
Berikutnya Ratu Durotua Nafisah selaku kuasa hukum lainnya menyebutkan bahwa pihaknya tidak meminta Mahkamah untuk menguji Pepera terhadap New York Agreement, namun memohon Mahkamah untuk menguji konstitusionalitas bagian dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 yang dasar pertimbangannya mengacu pada Pepera terhadap UUD 1945 yang melanggar hak-hak konstitusional para Pemohon. Oleh karena itu, batu uji yang digunakan bukan norma-norma di dalam New York Agreement, namun pasal-pasal di dalam konstitusi.
Di samping itu, lanjut Ratu, secara materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 berisi substansi yang bersifat normatif adresat yang dapat secara langsung ditujukan kepada setiap orang, dirancang, dan disetujui oleh DPR dan disahkan oleh Presiden. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 memiliki karakter secara materiil sebagai undang-undang yang biasa diuji oleh Mahkamah. Mengacu pada Putusan MK Nomor 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang Pengesahan Ratifikasi Piagam ASEAN, tambah Ratu, Mahkamah berwenang mengadili konstitusionalitas Pasal 1 angka 5 dan Pasal 2 ayat (2) huruf n ASEAN Charter yang merupakan lampiran dan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008.
“Putusan tersebut menggambarkan, selama yang dimohonkan secara formil adalah pengajuan konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD 1945, maka substansi undang-undang yang mengacu pada perjanjian internasional tidak lantas menghalangi kewenangan Mahkamah untuk menguji,” jelas Ratu.
Sebelumnya para Pemohon menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan dan keputusan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang hanya diikuti sejumlah orang yang tergabung dalam Dewan Musyawarah Pepera, sebenarnya tidak sejalan dengan UUD 1945 utamanya Pasal 28E ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Selain itu, UU Pembentukan Otonom Irba berakibat pada ketimpangan ratifikasi yang terdapat pada New York Agreement yang disepakati pada 15 Agustus 1962 antara Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Belanda. Sehingga, sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI telah menjadi sumber konflik utama di Papua.
Adapun dasar pelaksanaan Pepera adalah New York Agreement yang dalam Pasal XVIII ayat (d) menyatakan semua orang, baik laki-laki maupun perempuan dapat terlibat dalam penentuan nasib sendiri yang dilaksanakan menurut kebiasaan internasional. Hal tersebut, berbeda dengan sebelum dilaksanakannya Pepera bahwa tidak pernah ada konsultasi dan keterlibatan wakil-wakil resmi dari masyarakat Papua dalam proses pembicaraan dan penetapan New York Agreement. Dan hanya ada konsultasi dengan badan yang telah lama ada di Papua sehingga tidak memahami aspirasi masyarakat yang sesungguhnya. dlam pelaksanaan Pepera, pemerintah Indonesia tidak menggunakan sistem one man one vote, tetapi menggunakan Dewan Musyawarah Pepera. Melalui Petitum, para Pemohon meminta Mahkamah agar Penjelasan Umum Paragraf 7 sampai 8 UU Otonom Papua bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. (Sri Pujianti/LA)