JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (14/5/2019). Agenda sidang adalah perbaikan permohonan.
Pemohon melalui kuasa hukumnya, Hendrik Setiawan menyampaikan sejumlah perbaikan. Pertama, perbaikan mengenai format permohonan. “Format maupun sistematika penulisan permohonan sudah kami perbaiki. Perbaikan sudah disesuaikan dengan contoh dalam laman Mahkamah Konstitusi,” kata Hendrik.
Perbaikan permohonan berikutnya, sambung Hendrik, terkait kewenangan Pemohon. “Bahwa untuk menjawab apakah Pemohon berhak atau mempunyai kewenangan untuk bertindak, baik di dalam ataupun di luar persidangan untuk mewakili kepentingan perusahaan, kami memberikan perbaikan berdasarkan Akta Pendirian Nomor 28 yang ditandatangani oleh Notaris Siti Safarijah berdasarkan bukti tambahan P-8 dan SK Direksi PT Hollit International mengenai pemberian kewenangan dari presiden direktur kepada direktur atas nama Anne Patricia Sutanto berdasarkan bukti tambahan P-9,” urai Hendrik.
Oleh karenanya, tegas Hendrik, Pemohon mempunyai kewenangan seperti yang ditanyakan oleh Majelis Hakim MK pada sidang pendahuluan. “Harapannya, permohonan ini dapat diterima dan prosesnya dilanjutkan ke dalam substansi uji. Dalam arti, dalam Akta Pendirian Nomor 28 tersebut dijelaskan bahwa baik direktur mempunyai kewenangan mewakili kepentingan, baik itu komisaris dan sebagainya di dalam maupun di luar persidangan,” tandas Hendrik.
Sebagaimana diketahui, permohonan yang teregistrasi dengan nomor 34/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh PT. Hollit International yang diwakili Direktur Anne Patricia Sutanto. Pemohon melakukan pengujian Pasal 56 UU No. 2/2004 yang menyebutkan, “Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus: a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak; b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja; d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.”
Pemohon berdalih, telah dirugikan dengan berlakunya Undang-Undang a quo yang secara jelas dan terang telah menghilangkan hak Pemohon. Terutama mengenai “perlakuan dan kepastian hukum secara adil dihadapan hukum negara”. Hal ini terlihat dari proses penyelesaian permasalahan di Pengadilan Hubungan Industrial. Pemohon digugat atas perkara perselisihan pemutusan hubungan kerja yang pada pengadilan tingkat pertama, gugatan tersebut ditolak.
Namun, penggugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan dikabulkan. Putusan MA menyatakan Pemohon (tergugat) telah melanggar perjanjian bersama tanggal 19 Juli 2017 antara penggugat dan tergugat. Pihak tergugat juga diharuskan membayar hak-hak penggugat sebesar Rp. 302.442.525,00 (tiga ratus dua juta empat ratus empat puluh dua ribu lima ratus dua puluh lima rupiah).
Pemohon menilai ada ketidaksempurnaan majelis hakim dalam memutuskan perkara penggugat. Pemohon menemukan ada bukti baru sehingga Pemohon akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan kasasi yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (incraht). Meski Pemohon sadar bahwa menempuh upaya hukum luar biasa tersebut tidak diatur atau tidak ada dasar yang kuat dalam UU PPHI. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan pasal yang diujikan tidak mempunyai kekuatan hukum dan bertentangan dengan UUD 1945. (Nano Tresna Arfana/LA)