JAKARTA, HUMAS MKRI - Fungsi penyidikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memperkuat fungsi dan tugas lembaga. Hal ini dikatakan I Gusti Agung Rai Wirajaya selaku Ahli yang dihadirkan oleh OJK sebagai Pihak Terkait saat sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK (UU OJK) pada Kamis (8/5/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 102/PUU-XVI/2018 ini mempermasalahkan kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK.
Gusti menyatakan OJK dibentuk untuk melakukan pengaturan, pengawasan, serta perlindungan di sektor jasa keuangan. “Makanya terdapat peran penyidikan OJK untuk memperkuat fungsi dan tugas lembaga,” jelasnya di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Selain itu, Gusti menyebut OJK juga memiliki tugas perlindungan pada konsumen jasa keuangan. Hal ini tentu membuat fungsi penyidikan sangat diperlukan OJK. Sebab perkembangan jasa keuangan semakin dinamis, rumit, dan makin berkembang dan diperlukan upaya untuk mencegah hal yang bersifat negatif.
Gusti pun menyatakan jika kewenangan penyidikan OJK diilhami dari fungsi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan(Bapepam LK). Namun dengan cakupan yang lebih luas, yakni untuk seluruh sektor jasa keuangan.
Saat pembahasan UU, kata Gusti, Pemerintah dan DPR sepakat pengawasan oleh OJK tak hanya pasar modal saja, tapi seluruh sektor jasa keuangan. Kedua lembaga memakai kebijakan hukum terbuka (open legal policy) untuk membuat aturan itu. Di sisi lain juga memastikan kewenangan tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi.
“DPR dan Pemerintah sudah memperhatikan berbagai aspek, memastikan tidak melanggar sistem tindak pidana. Jadi UU yang ada telah melewati proses panjang dan mendengar berbagai macam pihak masukannya,” tegasnya selaku mantan anggota panitia khusus penyusun undang-undang OJK.
I Gede Hartati K selaku Saksi Pihak Terkait lainnya bersaksi terkait efektivitas peran OJK. Ketika OJK belum dibentuk, kasus-kasus yang kejahatan keuangan yang menimpa beberapa Bank Perkreditan Rakyat (BPR) berjalan lambat. Kala itu, masih menjadi kewenangan BI.
“Ditambah proses yang ada tidak berada dalam satu atap. Sekarang semua fungsi pengawasan terintegrasidalam satu atap di OJK,” jelasnya yang merupakan pengurus asosiasi BPR se-Indonesia tersebut.
Di sisi lain, lanjut Hartati, peran OJK sangatlah membantu. Sebab sangat mengetahui seluk beluk BPR dan lembaga keuangan secara keseluruhan. Ditambah ada pembinaan yang dilakukan OJK pada lembaga keuangan seperti BPR. Hal ini membuat OJK berperan sangat efektif dan efisien.
Sebelumnya, dalam permohonan Nomor 102/PUU-XVI/2018 yang dimohonkan oleh para dosen yang terdiri dari Yovita Arie Mangesti, Hervina Puspitosari, Bintara Sura Priambada, dan Ashinta Sekar Bidari mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 49 ayat (3) UU OJK. Pemohon mempermasalahkan wewenang penyidikan dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK tidak mengaitkan diri dengan KUHAP. Isinya menyebut PPNS OJK berwenang meminta bantuan aparat penegak hukum.
Artinya, lanjut Pemohon, jika tidak dibutuhkan, maka PPNS OJK dapat melakukan penyidikan tanpa berkoordinasi ataupun meminta bantuan penegak hukum lainnya yakni penyidik Polri. Pemohon menegaskan, apabila melihat wewenang Penyidik OJK yang termuat dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK, terdapat beberapa ketentuan norma yang melanggar asas due process of law dan dapat menimbulkan kesewenangan-wenangan dari penyidik OJK. (Arif Satriantoro/LA)