JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) pada Selasa (30/4/2019). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 34/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh PT. Hollit International yang diwakili Direktur Anne Patricia Sutanto.
Pemohon melakukan pengujian Pasal 56 UU PPHI yang menyebutkan, “Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus: a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak; b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja; d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.”
Pemohon berdalih, telah dirugikan dengan berlakunya Undang-Undang a quo yang secara jelas dan terang telah menghilangkan hak Pemohon. Terutama mengenai “perlakuan dan kepastian hukum secara adil di hadapan hukum negara”. Hal ini terlihat dari proses penyelesaian permasalahan di Pengadilan Hubungan Industrial.
“Pemohon digugat oleh Mayadevi Khrisnasari atas perkara perselisihan pemutusan hubungan kerja yang pada pengadilan tingkat pertama, gugatan tersebut ditolak,” kata Hendrik Setiawan, salah seorang kuasa hukum.
Namun, penggugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan dikabulkan. Putusan MA menyatakan Pemohon (tergugat) telah melanggar perjanjian bersama tanggal 19 Juli 2017 antara penggugat dan tergugat. Pihak tergugat juga diharuskan membayar hak-hak penggugat sebesar Rp302.442.525,00 (tiga ratus dua juta empat ratus empat puluh dua ribu lima ratus dua puluh lima rupiah).
Pemohon menilai ada ketidaksempurnaan majelis hakim dalam memutuskan perkara penggugat. Pemohon menemukan ada bukti baru sehingga Pemohon akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan kasasi yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (incraht). Meski Pemohon sadar bahwa menempuh upaya hukum luar biasa tersebut tidak diatur atau tidak ada dasar yang kuat dalam UU PPHI. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan pasal yang diujikan tidak mempunyai kekuatan hukum dan bertentangan dengan UUD 1945.
Pertajam Kerugian Konstitusional
Terhadap dalil-dalil Pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menasihati Pemohon agar lebih mempelajari format permohonan berperkara di MK melalui laman MK. “Semua ada di website MK untuk contoh permohonan berperkara di MK,” kata Wahiduddin. Selain itu, Pemohon agar lebih mempertajam kerugian-kerugian konstitusional dan alasan-alasan permohonan. Pemohon juga diminta agar menyelaraskan antara posita dan petitum.
Lebih lanjut, Wahidudidin menilai ruhnya UU PPHI ada di Pasal 56. “Kalau Saudara minta Pasal 56 dibatalkan seluruhnya, maka runtuh semua undang-undang ini Pasal 56 adalah ruh dari UU PPHI,” tegas Wahiduddin.
Sementara itu Ketua Panel Manahan MP Sitompul mencermati petitum Pemohon. “Petitum yang dibacakan kuasa hukum Pemohon sangat berbeda dengan petitum yang kami dapatkan secara tertulis pada 8 April 2019. Apakah ada perbedaannya?” tanya Manahan.
Mengenai petitum tersebut langsung dijawab oleh kuasa hukum Pemohon, Hendrik Setiawan. “Jadi, petitum kami bacakan itu adalah yang nantinya akan direvisi pada sidang perbaikan permohonan,” jelas Hendrik. (Nano Tresna Arfana/LA)