JAKARTA, HUMAS MKRI - Johansyah selaku saksi yang dihadirkan Pemerintah menyatakan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait penyidikan sudah memberi kepastian hukum. Hal ini dikatakannya dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), pada Selasa (9/4/2019) di Ruang Sidang Pleno MK.
Penyidik OJK, kata Johansyah, secara aturan mengacu pada UU OJK dalam bertindak. Selain itu juga mengacu pada KUHAP. Hal ini baginya telah memberi kepastian hukum secara materiil dan formil.
“Sebagaimana kita tahu, sekarang memasuki zaman globalisasi. Pengaturan dan pengawasan yg terintegrasi dalam badan pengawas keuangan diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan berbagai pihak,” tegas Kepala Divisi Hukum Bank Negara Indonesia (BNI) tersebut.
Sementara kewenangan pengawasan yang dimiliki OJK juga bernilai positif. Sebab dengan kewenangan ini, OJK dapat dengan mudah mengidentifikasi semisal ada tindak pidana dalam sektor jasa keuangan.
“Saat proses penyelidikan, sudah terdapat pemanggilan pihak terkait dan menghadirkan bukti-bukti tertulis sekaligus menghadirkan pengawas. Jadi proses yang terjadi sudah mempertimbangkan banyak aspek,” jelasnya dalam Perkara Nomor 102/PUU-XVI/2018.
Johansyah menyatakan due process of law dilakukan setelah masuk penyidikan. Adapun saat proses penyelidikan, dilakukan oleh satuan kerja dan departemen dalam OJK. Di sisi lain, ia menegaskan pola komunikasi OJK dengan Kepolisian sudah terjalin terkait penyidikan bahkan ada nota kesepahaman dua lembaga. Dari sini, kata dia, akan terjadi tukar menukar informasi terkait perkara yang sedang diproses.
Sementara saksi lainnya, Kombes Pol. W. Marbun menyatakan digabungkannya penyidik kepolisian yang ada OJK dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bukan tanpa alasan agar dapat bekerja efisien dan efektivitas. Selain itu, juga lebih cepat dan tepat serta saling bertukar data.
Marbun menyatakan due process of law dilakukan setelah masuk penyidikan. Adapun saat proses penyelidikan, dilakukan oleh satuan kerja dan departemen dalam OJK.
Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Anwar Usman menunda sidang hingga Selasa, 23 April 2019 pukul 11.00 WIB. Sidang tersebut untuk mendengar keterangan dua orang ahli dari Pemohon.
Sebelumnya, dalam permohonan Nomor 102/PUU-XVI/2018 yang dimohonkan oleh para dosen yang terdiri dari Yovita Arie Mangesti, Hervina Puspitosari, Bintara Sura Priambada, dan Ashinta Sekar Bidari mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 49 ayat (3) UU OJK. Pemohon mempermasalahkan wewenang penyidikan dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK tidak mengaitkan diri dengan KUHAP. Isinya menyebut PPNS OJK berwenang meminta bantuan aparat penegak hukum. Artinya, lanjut Pemohon, jika tidak dibutuhkan, maka PPNS OJK dapat melakukan penyidikan tanpa berkoordinasi ataupun meminta bantuan penegak hukum lainnya yakni penyidik Polri. Pemohon menegaskan, apabila melihat wewenang Penyidik OJK yang termuat dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK, terdapat beberapa ketentuan norma yang melanggar asas due process of law dan dapat menimbulkan kesewenangan-wenangan dari penyidik OJK. (Arif Satriantoro/LA)