JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (1/4/2019) siang. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah.
Terhadap Perkara Nomor 14/PUU-XVII/2019 ini, Anggota Komisi III DPR Anwar Rachman menerangkan bahwa dalil Pemohon yang mempersoalkan frasa peralihan pemilihan berikutnya dengan alasan ini dianggap menimbulkan multitafsir. DPR berpandangan, Pemohon keliru dalam memahami Pasal 54D ayat (2) juncto ayat (3), dan ayat (4) UU Pilkada. Frasa “pemilihan berikutnya” terdiri dari dua kata, yakni “pemilihan” dan “berikutnya”. Kata “pemilihan” dimulai dengan huruf P kapital karena merupakan suatu definisi.
“Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 disebutkan bahwa pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang selanjutnya disebut pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota secara langsung dan demokratis,” kata Anwar.
Sedangkan kata “berikutnya” menurut DPR, tidak diawali dengan huruf kapital besar, dalam hal ini adalah berfungsi sebagai pelengkap ataupun keterangan. Maka dalam hal ini yang dimaksud dengan “pemilihan berikutnya” adalah pilkada sesuai dengan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang dilakukan di waktu yang berikutnya. Dengan demikian, tidak benar asumsi Pemohon jika dianggap bahwa frasa “pemilihan berikutnya” kerancuan pengaturan karena sudah terang dan jelas.
DPR juga berpandangan, Pasal 54D ayat (2) UU Pemilu telah menjamin hak konstitusional Pemohon untuk mencalonkan lagi dalam pemilihan berikutnya sesuai dengan mekanisme yang ditentukan peraturan perundang-undangan. “Sama sekali tidak ada unsur pelanggaran konstitusi karena pasal tersebut dianggap multitafsir oleh Pemohon,” tegas Anwar.
Terlebih Pasal 54D ayat (5) telah mengamanatkan kepada KPU untuk mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan satu pasangan calon tersebut melalui peraturan Komisi Pemilihan Umum. Pasal 54D ayat (5) a quo menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan satu pasangan calon diatur dalam peraturan KPU.”
Kesempatan Sama
Sedangkan Pemerintah diwakili oleh Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri, R. Gani Muhamad yang menanggapi Pasal 54D ayat (2) UU Pemilu. Menurut Pemerintah, makna frasa “pemilihan berikutnya” pada pasal tersebut, bahwa pasangan calon tunggal yang kalah melawan kolom kosong, maka akan dilakukan pemilihan ulang atau putaran kedua. Sesuai ketentuan Pasal 7 UU Pemilu, setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan sama untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.
“Dengan demikian, pemaknaan yang benar atas frasa pemilihan berikutnya dalam Pasal 54D ayat (2), maka pemilihan ulang nantinya dibuka untuk calon tunggal yang kalah dan dengan peserta yang baru yang telah memenuhi syarat dan telah dilakukan verifikasi. Bolehnya pasangan calon tunggal yang kalah melawan kolom kosong untuk dapat maju dalam pemilihan berikutnya menunjukkan bahwa pembuat undang-undang membolehkan pasangan calon tersebut untuk tetap maju dengan kandidat calon dan wakil yang memenuhi persyaratan dan telah dilakukan proses verifikasi layaknya bakal pasangan calon baru,” urai Gani Muhamad.
Oleh karena itu, menurut Pemerintah, pemilihan pada tahun berikutnya memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara sebagaimana diatur pada Pasal 7 UU No. 10/2016. Dengan demikian, pasangan calon tunggal yang kalah melawan kolom kosong mendapatkan kesempatan sama sebagaimana diamanatkan pula dalam Pasal 54D ayat (2) yang menyatakan bahwa jika perolehan suara pasangan calon kurang dari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bahwa pasangan calon yang kalah dalam pemilihan boleh mencalonkan lagi dalam pemilihan berikutnya.
Sebagaimana diketahui, Pemohon Perkara Nomor 14/PUU-XVII/2019 ini adalah Munafri Arifuddin dan Andi Rachmatika Dewi Yustitia Iqbal, sebagai Pasangan Calon (Paslon) Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Makassar 2018 dan telah ditetapkan sebagai Pasangan Calon Tunggal Pemilihan Kepala Daerah Kota Makassar 2018.
Kuasa hukum Pemohon, Yusril Ihza Mahendra menuturkan bahwa Pemilhan Kepala Daerah Kota Makassar 2018 diikuti dua pasangan calon yakni Paslon Nomor Urut 1 Munafri Arifuddin dan Andi Rachmatika Dewi Yustitia Iqbal serta Paslon Nomor Urut 2 Moh. Ramdhan Pomanto dan Indira Mulyasari Paramastuti Ilham. Kemudian terdapat Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar Nomor 6/G/Pilkada/2018/PT.TUN.Mks, tanggal 21 Maret 2018 dan dikuatkan pula oleh Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 259 K/TUN/PILKADA/2018 tanggal 23 April 2018 yang menyatakan bahwa pasangan yang memenuhi syarat hanyalah Pasangan Nomor Urut 1 (Pemohon).
Menindaklanjuti putusan itu, sambung Yusril, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menerbitkan Keputusan KPU Kota Makassar Nomor 64/P.KWK/HK.03.01-Kpt/7371/KPU-Kot/IV/2018 tanggal 27 April 2018 dan Berita Acara Pleno Nomor 435/P.KWK/PL.03.3-BA/7371/KPU-Kot/IV/2018 tentang Penetapan Pasangan Calon Pada Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Makassar Tahun 2018 tanggal 27 April 2018 dan Berita Acara Nomor 434/P.KWK/PL.03.3-BA/7371/KPU-Kot/IV/2018 tentang Pelaksanaan Penetapan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia terkait Pembatalan Penetapan Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Makassar Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Makassar 2018 sehingga Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Makassar 2018 diikuti satu pasangan calon yakni Pemohon melawan kolom kosong. (Nano Tresna Arfana/LA)