Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman memberikan ceramah kunci dalam seminar nasional yang mengangkat tema Implementasi Putusan MKRI Nomor 35/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Dalam Rangka Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara dan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Hutan Adat Dalam Perundang-undangan Nasional, Surakarta, Sabtu (16/3/2019).
Dalam kegiatan yang diselenggarakan hasil kerja sama MK dengan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret tersebut, Anwar mengatakan bahwa putusan MK dari perspektif konstitusi sangat cocok, namun ada yang tidak sependapat karena melihatnya dari perspektif yang berbeda. Putusan MK yang menjadi tema seminar ini sebenarnya hanya terkait hutan adat.
Menurut Anwar, sejarah terbentuknya negara Indonesia tidak dapat dilepaskan dari masyarakat hukum adat, dimana Indonesia terdiri dari berbagai kerajaan, serta berbagai suku yang sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Menurut Anwar, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat tidak hanya setelah Indonesia merdeka, tetapi juga sejak masa penjajahan Belanda. Di lain pihak, menurutnya, masyarakat hukum adat meski secara hukum dan politik diakui keberadaannya, namun dalam faktanya sering terpinggirkan sehingga sulit untuk mendapatkan hak tradisionalnya.
Selain itu, Anwar memaparkan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan konsensus tertinggi rakyat Indonesia yang harus dijaga dan diwujudkan dalam keseharian. “Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi memiliki peran untuk menjaga nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi untuk ditegakkan,” kata pria kelahiran Bima, Nusa Tenggara Barat itu. Lebih lanjut, Anwar mengatakan bahwa konstitusi telah menegaskan kepada negara untuk memberikan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat.
Melalui pengujian UU Kehutanan yang diwakili oleh sejumlah kelompok, masyarakat adat mempersoalkan hutan adat yang disebut sebagai hutan negara, yang sewaktu-waktu dapat diambil oleh negara, seharusnya hutan adat adalah hak ulayat masyarakat adat. Menurut para pemohon yang terdiri dari berbagai satuan masyarakat adat, ketentuan dalam UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan itu merupakan bentuk pengingkaran terhadap hutan adat.
Atas permohonan itu, MK berpendapat bahwa UU Kehutanan telah memperlakukan masyarakat adat berbeda dengan subjek hukum lainnya, dalam hal ini yang dimaksud adalah negara. Menurut Anwar, MK dalam putusannya melihat masyarakat adat secara potensial maupun faktual mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersumber dari hutan. Anwar menjelaskan, perlindungan terhadap masyarakat hukum adat merupakan konsekuensi dari pelaksanaan UUD 1945. Menurutnya konstitusi harus dilihat sebagai konstitusi yang hidup, sehingga tidak hanya dipahami secara tekstual, “melainkan dipandang sebagai dokumen yamg hidup terus dan berkembang dari waktu ke waktu, mengiringi kondisi, kebutuhan, dan nilai-nilai perubahan masyarakat,” kata Anwar.
Untuk menjamin hak-hak masyarakat adat untuk itu dibutuhkan perhatian dan kerjasama kita semua untuk menjaga dan melindungi nilai-nilai konstitusi. Hal tersebut juga dilakukan oleh MK melalui kewenangan yang dimilikinya untuk menguji norma yang sifatnya abstrak. Sementara terhadap langkah konkrit untuk melindungi hak konstitusional masyarakat hukum adat merupakan tugas pihak lain dari berbagai aspek. Anwar berharap dari seminar ini dapat dihasilkan rumusan-rumusan yang brilian dalam hal perlindungan masyarakat hukum adat.
Bukan Tanggung Jawab MK
Dalam kesempatan itu, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat MK Fajar Laksono Suroso, menjadi salah satu narasumber dalam seminar tersebut mengatakan bahwa persoalan penerapan putusan MK bukan lagi menjadi tanggung jawab MK. Meski demikian persoalan ini juga menjadi terjadi MK di banyak negara lain. Menurut Fajar, hal itu terjadi salah satunya karena adanya tarik menarik kepentingan, disamping tidak ada sanksi hukum jika tidak melaksanakan putusan MK, termasuk terhadap putusan MK dalam pengujian UU Kehutanan yang nampaknya juga belum dilaksanakan.
Dalam kesempatan itu turut hadir sebagai pemateri dalam seminar Pakar Hukum Agraria Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Lego Karjoko, Bupati Malinau Yansen Tipa Padan, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Supriyanto, serta Pakar Hukum Adat UNS Muljanto.
Seminar tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa putusan MK telah sejalan dengan konstitusi untuk melindungi hak konstitusional masyarakat hukum adat, namunputusan tersebut tidak akan ada artinya jika tidak ditindaklanjuti oleh seluruh pihak. Oleh karena itu, dari seminar ini dihasilkan rekomendasi untuk mendorong pembentukan Undang-undang tentang Masyarakat Adat agar segera terwujud.
Rekomendasi berikutnya adalah peran negara harus masuk dalam pengaturan otonomi pengakuan masyarakat hukum adat agar jaminan konstitusional putusan Mahkamah Konstitusi dapat terwujud. Selanutnya mendorong adanya pemetaan nasional terkait status masyarakat hukum adat, dengan melakukan pemetaan terhadap Kawasan hutan yang menjadi Hutan Adat yang telah dikelola oleh masyarakat sejak dahulu.
Forum seeminar juga merekomendasikan kolaborasi bersama antara institusi negara (Pemerintah pusat, pemerintah daerah), Perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat dan masyarakat adat secara partisipatif sebagai salah satu jalan terbaik untuk mengurai segala persoalan yang ada sehingga implementasi putusan mahkamah konstitusi dapat segera terwujud. Rekomendasi terakhir adalah menegaskan kembali kewajiban negara untuk menghormati dan memenuhihak konstitusional masyarakat adat. Tidak melakukan pelanggaran HAM, baik melalui tindakan maupun pendiaman, termasuk secara aktif menjamin pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat. (Ilham/LA)