JAKARTA, HUMAS MKRI - Perkara Nomor 97/PUU-XVI/2018 yang diajukan Happy Hayati Helmi dan Rayna Zafira sebagai ibu rumah tangga akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pengucapan putusan uji Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), Rabu (27/2/2019) siang. “Amar putusan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya.
Sebagaimana diketahui, Pemohon menguji Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Sisdiknas sepanjang frasa “jenjang pendidikan dasar”. Pemohon memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, hak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, termasuk pemenuhan hak atas pendidikan, seperti ditegaskan dalam Pasal 20 dan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak.
Kedudukan Hukum Anak Kecil
Dalam pertimbangan Mahkamah, disampaikan bahwa pokok permohonan a quo adalah berkenaan dengan hak konstitusional atas pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (2) UUD 1945. Menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia hingga saat ini, in casu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), bagi seorang anak yang belum cakap bertindak ketentuan Pasal 2 KUH Perdata menyatakan, “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir, setiap kali kepentingan si anak menghendakinya. Bila telah mati sewaktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernah ada”.
Sementara itu, terhadap anak yang belum dewasa, berusia 2 tahun, sekalipun menurut beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan batas usia dewasa tidak seragam, namun persoalannya bukan terletak pada usia melainkan pada kecakapan bertindak secara hukum. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, para Pemohon dalam permohonan a quo yang bertindak mewakili anaknya secara hukum dapat dibenarkan. Dengan kata lain, secara hukum, ia memiliki persona standi in judicio untuk mewakili kepentingan anaknya, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hal itu juga berlaku terhadap ayah yang sah sepanjang tidak dicabut haknya secara hukum sebagai orang tua atau wali yang sah secara hukum.
“Namun dalam konteks permohonan a quo apakah hal itu juga berlaku dalam mempertahankan hak konstitusional yang secara pribadi melekat dalam diri seorang warga negara? Dalam hal ini Mahkamah berpendapat bahwa hal itu juga berlaku dalam memperjuangkan atau mempertahankan hak konstitusional seorang anak Jika konstruksi penalaran demikian tidak diterima, artinya orangtua dari seorang anak tidak diterima kedudukan hukumnya untuk mewakili kepentingan seorang anak yang belum dewasa, maka dalam kasus a quo tidak akan ada pihak yang absah mewakili kepentingan anak. Konsekuensi logisnya, dalam kasus a quo, jika ternyata terjadi pelanggaran hak konstitusional seorang anak maka tidak akan ada satu pihak yang secara hukum dianggap absah bertindak untuk dan atas nama anak dimaksud,” kata Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang membacakan pendapat Mahkamah.
Dengan kata lain, sambung Wahiduddin, jika penalaran yang diuraikan terakhir demikian diikuti, berarti Mahkamah membiarkan terjadinya pelanggaran hak konstitusional seorang anak semata-mata karena tidak adanya pihak yang dapat diterima kedudukan hukumnya untuk bertindak mewakili anak yang bersangkutan. Penalaran demikian bertentangan dengan semangat konstitusi yang hendak menjamin dapat dinikmatinya hak-hak konstitusional setiap warga negara
“Berdasarkan seluruh pertimbangan tentang kedudukan hukum di atas, Mahkamah berpendapat para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, ternyata para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo. Namun dalam pokok perkara dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” tandas Wahiduddin. (Nano Tresna Arfana/LA)