JAKARTA, HUMAS MKRI - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan perpanjangan tangan DPR untuk melakukan pemeriksaan keuangan negara. Hal ini karena DPR tidak mempunyai perangkat untuk melakukan pemeriksaan tanggung jawab keuangan negara.
“Jabatan Anggota BPK bukan pejabat birokrasi, melainkan pejabat politik yang dipilih oleh DPR,” ujar Anggota Komisi XI DPR I Gusti Agung Rai Wijaya dalam sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) pada Selasa (26/2/2019).
Dijelaskan Wijaya, saat pembahasan Pasal 5 ayat (1) frasa “Untuk 1 (Satu) Kali Masa Jabatan” UU BPK tidak terjadi perdebatan di antara anggota panitia kerja (panja) maupun antara panja dengan Pemerintah.
“Pembahasan Pasal 5 ayat (1) mengenai masa jabatan anggota BPK pada saat itu mengacu pada jabatan Presiden yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 kali masa jabatan. Rumusan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 merupakan dampak amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Khususnya Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 terkait masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden,” urai Wijaya yang mewakili DPR.
Lebih lanjut, Wijaya menyampaikan bahwa setelah diimplementasikan hasil amendemen pertama UUD 1945 dan pelaksanaan UU BPK menyatakan jabatan anggota BPK tidak dapat disamakan dengan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden karena kewenangan Presiden dan Wakil Presiden melekat pada diri personal. Sementara kewenangan anggota BPK bersifat kolektif kolegial.
“Menghilangkan frasa ‘untuk 1 (satu) kali masa jabatan’ pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tidak akan mengurangi hak hukum warga negara lainnya. Karena DPR akan membuka kesempatan pendaftaran calon anggota BPK seluas-luasnya dan secara terbuka kepada masyarakat. Dengan demikian, setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi anggota BPK.
Kebijakan Hukum Terbuka
Sementara itu Kepala Biro Bantuan Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan, Tio Serepina Siahaan mengatakan bahwa Pemerintah memandang pengaturan dalam Pasal 5 ayat (1) UU BPK mengenai periodisasi dan masa jabatan anggota BPK merupakan kebijakan hukum bersifat terbuka sehingga ketentuan dimaksud merupakan wewenang pembentuk undang-undang untuk menentukan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan perkembangan yang ada.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 26/PUU-VII/2009 dengan tegas menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak mungkin membatalkan undang-undang jika norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang. Meskipun seandainya isi suatu undang-undang dinilai buruk, maka Mahkamah Konstitusi tidak dapat membatalkannya. Sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional. “Oleh karena itu Pemerintah memandang ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang BPK tidak dapat dipermasalahkan sebagaimana dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon,” tegas Tio yang mewakili Pemerintah.
Tidak Memiliki Kedudukan Hukum
Kemudian mengenai kedudukan hukum, Pemerintah menilai Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk melakukan pengujian Pasal 5 ayat (1) UU BPK. Meskipun Pemohon telah memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, namun Pemohon tidak dapat mempermasalahkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU BPK sehingga tidak dapat dikatakan hak konstitusional Pemohon telah dirugikan.
Permohonan yang teregistrasi dengan nomor 3/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh anggota BPK, Rizal Djalil dengan kuasa hukumnya Irman Putrasidin dan rekan. Pemohon melakukan uji materiil Pasal 5 ayat (1) frasa “untuk 1 (satu) kali masa jabatan” Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 . Pasal a quo berbunyi, “Anggota BPK memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan”.
Pemohon mendalilkan, semangat pembatasan Presiden hanya maksimal dua periode, adalah mencegah berulangnya otoriternya kekuasaan pada satu tangan. Namun BPK bukanlah kekuasaan yang dipegang satu tangan, melainkan oleh 9 orang yang berkerja secara kolektif kolegial (Pasal 4 ayat (1) UU BPK) dan juga bukanlah pemegang kekuasaan pemerintahan yang menguasai seluruh lini militer, penegakan hukum hingga sektor ekonomi sumber daya alam.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-X/2012, Mahkamah berpendapat bahwa pembatasan masa jabatan Presiden tidak dapat dipersamakan dengan pembatasan yang sama untuk masa jabatan anggota DPR dan DPRD karena sifat jabatan dari kedua jabatan itu berbeda. Presiden adalah jabatan tunggal yang memiliki kewenangan penuh dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, sehingga memang diperlukan adanya pembatasan untuk menghindari kesewenang-wenangan. Adapun anggota DPR dan DPRD adalah jabatan majemuk yang setiap pengambilan keputusan dalam menjalankan kewenangannya dilakukan secara kolektif, sehingga sangat kecil kemungkinannya untuk terjadinya kesewenang-wenangan.
Sidang lanjutan pengujian UU BPK akan digelar pada Senin, 11 Maret 2019. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Ahli Pemohon. (Nano Tresna Arfana/LA)