JAKARTA, HUMAS MKRI - Aturan kewenangan penyidikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dinilai tidak memberikan kepastian hukum. Hal ini dikemukakan oleh Guru Besar Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Nindyo Pramono dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) terhadap UUD 1945 pada Senin (18/2/2019) di Ruang Sidang Pleno MK.
Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 102/PUU-XVI/2018 ini dimohonkan oleh para dosen yang terdiri dari Yovita Arie Mangesti, Hervina Puspitosari, Bintara Sura Priambada, dan Ashinta Sekar Bidari. Para Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan atau berpotensi dirugikan dengan berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK, terutama frasa “penyidikan”.
Nindyo selaku Ahli Pemohon mengungkap beberapa alasan aturan kewenangan penyidikan menimbulkan ketidakpastian hukum, di antaranya kewenangan penyidikan OJK dilakukan penyidik polri atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) mengikuti Pasal 6 KUHAP. Hal ini, lanjutnya, justru akan memicu perebutan perkara antara penyidik Polri dan PPNS di OJK. Dalam konteks kewenangan, penyidik OJK yang bisa melakukan penyidikan terkait fungsinya sebagai pengawas perbankan dan non perbankan.
Kemudian Nindyo menilai kewenangan penyidikan oleh OJK aneh. Ia menyebut meski lembaga tersebut punya kewenangan tersebut, namun pegawainya tidak memiliki kewenangan penyidikan. Hal ini, lanjutnya, tidak sesuai dengan sistem hukum pidana yang terintegrasi.
Bagi Nindyo, fungsi kewenangan OJK seharusnya berada dalam ranah hukum administrasi negara pada proses pemeriksaan dan penyelidikan. “Kita dapat mencontoh dari kewenangan Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha (KPPU) yang diputus perkaranya oleh MK di tahun 2016,” jelasnya.
Selain itu, Nindyo pun mencontohkan lembaga sejenis OJK di negara lain yang tidak memiliki kewenangan berupa penyidikan. Ia menilai aneh jika OJK di Indonesia memiliki kewenangan tersebut. “Di Inggris, ada Financial Service Authority (OJK Inggris) yang memiliki kewenangan penyidikan. Namun karena tak berjalan efektif akhirnya diberikan kembali ke Bank of England,” tegasnya.
Pencampuran Kewenangan
Ahli Pemohon lainnya, Ratno Lukito menyebut model OJK seperti di Indonesia tidaklah lazim. Hal ini karena OJK menyatukan kewenangan pengawasan administratif dengan kewenangan penyidikan yang bersifat pro justicia. \\"Di negara negara lain, pengawas keuangan tidak mencampur dua kewenangan ini. Kewenangan penyidikan diserahkan pada penegak hukum reguler atau lembaga khusus yang memiliki kewenangan penyidikan,\\" jelasnya.
Di sisi lain, lanjutnya, model OJK di Indonesia berpotensi menimbulkan tumpang-tindih (overlapping) OJK dengan lembaga penegak hukum seperti Polri.
Dalam permohonan sebelumnya, Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 49 ayat (3) UU OJK. Pemohon mendalilkan dalam menjalankan wewenangnya, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP. Namun menurut Pemohon, menerangkan bahwa terhadap wewenang penyidikan yang diberikan UU OJK kepada PPNS OJK, sama sekali tidak ada ketentuan norma yang secara eksplisit menyatakan: “Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang hukum acara pidana”, atau setidak-tidaknya menyatakan: “Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil berkoordinasi dengan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Pemohon mempermasalahkan wewenang penyidikan dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK tidak mengaitkan diri dengan KUHAP. Isinya menyebut PPNS OJK berwenang meminta bantuan aparat penegak hukum. Artinya, lanjut Pemohon, jika tidak dibutuhkan, maka PPNS OJK dapat melakukan penyidikan tanpa berkoordinasi ataupun meminta bantuan penegak hukum lainnya yakni penyidik Polri.
Pemohon menegaskan, apabila melihat wewenang Penyidik OJK yang termuat dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK, terdapat beberapa ketentuan norma yang melanggar asas due process of law dan dapat menimbulkan kesewenangan-wenangan dari penyidik OJK. Pemohon berpendapat Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK, terutama frasa “penyidikan”, yang memberikan wewenang penyidikan bertentangan dengan asas due process of law dalam sistem penegakan hukum pidana (criminal justice system), serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil bagi seseorang yang disangka melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan. (Arif Satriantoro/LA)