CISARUA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) mempersiapkan diri secara maksimal untuk mempersamakan persepsi dalam menghadapi ketidakadilan yang dapat saja terjadi ketika terselenggaranya pesta demokrasi pada April 2019 mendatang. Persiapan tersebut dilakukan salah satunya dengan menyelenggarakan kegiatan Bimbingan Teknis Hukum Acara Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2019 Bagi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua MK Aswanto dalam penutupan bimtek di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi pada Sabtu (16/2/2019).
Melalui pendidikan ini, ujar Aswanto, peserta pemilu dapat mempersiapkan diri ketika mendapati ketidakadilan dalam memperjuangkan perolehan suara dalam Pemilu 2019. Maka, agar suara tersebut dijaga dan dapat memenangkan pesta demokrasi tersebut, lanjut Aswanto, jangan pernah memusuhi penyelenggara pemilu. Untuk itu, peserta pemilu menitipkan suara pada penyelenggarakan dengan setidaknya penyelenggara tidak mengambil suara yang peserta pemilu perjuangkan. Hal ini perlu digarisbawahi, terutama bagi penyelenggara yang bersifat ad hoc. Misalnya saja penyelenggara pemilu di TPS. Artinya penyelenggara yang menjadi titik awal namun tidak memiliki jangka waktu penugasan yang panjang.
"Maka, bertemanlah dengan penyelenggara sehingga kemungkinan perubahan atau kecurangan perolehan suara dapat diminimalkan mulai dari TPS, PPK, dan sampai waktu rekapitulasi suara. Karena suara itu adalah mahkota pemilu itu sendiri," terang Aswanto yang hadir didampingi Kepala Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi Kurniasih Panti Rahayu dan Ketua Tim Advokasi PKS Agus SP Otto.
Posisi Siap
Ketua Tim Advokasi PKS Agus SP Otto dalam sambutannya menyampaikan bahwa pengalaman bimtek yang diikuti PKS menjelang Pemilu 2019 ini telah mendapatkan ilmu dari fasilitator yang sangat bermanfaat bagi kader PKS untuk perbekalan menjelang 17 April 2019. "Kami berkeyakinan semua caleg Kota/Kabupaten, Provinsi, Pusat berada pada tiga teratas sehingga tidak perlu berperkara di MK. Dan semoga MK selalu menjadi mitra berbangsa dan bernegara bagi kita semua," harap Agus di hadapan 163 peserta bimtek.
Sementara itu, Dudi Usman Sahupala yang mewakili kesan dan pesan peserta menyampaikan bahwa kompleksitas Pemilu 2019 dapat saja dijalankan dengan berbagai penafsiran aturan dan hal tersebut menyullitkan peserta pemilu. Tiga hari bimtek ini, tambah Dudi, memberikan pembekalan yang luar biasa bagi peserta, mulai dari pemateri, suasana yang nyaman, pelayanan yang baik sehingga mampu melewati waktu selama pendidikan. "Maka setelah pembekalan ini, apabila berproses di MK, maka kami berada pada posisi yang siap," jelas Dudi.
Pilar Perjuangan Hukum
Hakim Konstitusi Suhartoyo yang hadir sebagai pemateri menerangkan terkait Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2019. Menurut Suhartoyo, hukum acara MK adalah pilar untuk perjuangan hukum material dari hak-hak peserta pemilu yakni partai-partai yang ingin memperjuangkan kehendak rakyat. Dalam hal ini, para peserta pemilu salah satunya PKS dapat mengetahui bagaimana memperjuangkan hak-haknya. "Jadi tidak hanya hakim yang mengerti hukum beracara, tetapi juga peserta yang hadir di ruangan ini akan menjadi Pemohon atau Pihak Terkait," terang Suhartoyo.
Untuk itu, lanjut Sihartoyo, syarat absolut bagi PKS dalam pengajuan perkara perselisihan tidak lain haruslah anggota partai politik peserta pemilu, yang tentunya atas persetujuan parpol. Pada hakikatnya, tambah Suhartoyo, MK membolehkan anggota parpol tersebut beracara sendiri atau dapat juga diwakilkan advokat. Hal ini dilakukan MK semata-mata guna menjalankan perannya sebagai lembaga peradilan yang berupaya memberikan pelayanan perjuangan hak konstitusional warga negara.
"Jadi penting memahami hukum beracara ini untuk lebih mendalami bagaimana Bapak/Ibu mempertahankan dalil-dalil yang merepresentasikan kesimpulan yang menjabarkan hal-hal yang dirasa telah dirugikan atas keputusan KPU. Jadi, men-challange putusan KPU dan bukan sengketa antara sesama anggota partai," urai Suhartoyo.
Penanganan Khusus
Panitera MK Muhidin melalui materi berjudul “Mekanisme, Tahapan, dan Kegiatan Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2019”menekankan bahwa demi menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum, maka MK menyelenggarakan bimtek PHPU 2019. Tak hanya untuk mendalami teori bagi pelaku perkara, tetapi bimtek juga akan membekali dengan praktik penyusunan permohonan perkara. Hal ini dilakukan atas dasar pengalaman MK menghadapi penyelesaian sengketa pemilu sebelumnya. Sebagai ilustrasi, Muhidin mencontohkan pada Pemilu 2004 MK menangani 293 perkara, pada 2009 ada 400-an perkara yang harus diselesaikan, sedangkan pada Pemilu 2014 MK harus menghadapi 903 permohonan. Diakui Muhidin bahwa penanganan sengketa pemilu berbeda dengan penanganan perkara lainnya yang masuk dalam kewenangan MK. Penanganan perkara pemilu, jelas Muhidin, memiliki kekhususan. Apalagi Pemilu 2019 ini penanganannya bersama-sama antara pemilu presiden, DPD, DPRD.
"Maka MK dan kita semua yang ada di sini harus mempersiapkan secara matang. Apakah mendahulukan pilpres atau legislatif? MK harus mengkaji secara dalam. Sejauh ini untuk Pemilu 2019, MK memutuskan dengan menyesuaikan dengan peraturan KPU. Bisa saja nanti terlebih dahulu MK akan menyelesaikan perkara pilpres dan baru perkara perselisihan pemilu legislatif karena ada keterkaitannya," terang Muhidin.
Melindungi Rakyat
Sementara itu, Panitera Pengganti MK Mardian Wibowo dalam paparan berjudul “Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia” menyampaikan bahwa sstem hukum ketatanegaraan berarti hubungan, relasi, kerja sama yang membentuk ketatanegaraan. Adapun sistem hukum ketatanegaraan Indonesia, jelas Mardian, tergambar pada konstitusi negara, yang dalam perkembangannya hingga saat ini telah mengalami empat kali perubahan. Jika mengkaji UUD 1945, maka sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial yang terciri dari kepala negara yakni presiden yang tidak bertanggung jawab kepada DPR. Dalam sistem yang dianut Indonesia pula sifatnya mengawasi dan mengimbangi sehingga sehingga presiden punya hak saling mengoreksi, termasuk dalam pembentukan UU.
"Presidenlah yang kewenangannya berdasarkan UUD 1945 dan tidak boleh keluar dari ketentuan UUD 1945 tersebut. Indonesia menganut selection of power. Jadi ada pemisahan pemerintahan yang terbagi atas 3 bagian yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif," jelas Mardian.
Lebih lanjut Mardian menyampaikan bahwa keberadaan MK setelah reformasi dalam sisten hukum ketatanegaraan Indonesia itu sendiri adalah untuk melindungi rakyat dari UU yang sewenang-wenang. Sehingga MK sesuai amanah Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 berwenang menguji UU terhadap UUD 1945. "Kaitannya dengan keberadaan PKS ada pada bimtek ini adalah untuk memahami kewenangan MK dalam menyelesaikan sengketa pemilu namti. Di mana Bapak/Ibu pada pengajuan perkara perselisihan pemilu akan bertindak selaku Pemohon atau Pihak Terkait. Yang harus berhadapan dengan Termohon yakni KPU/KPUD" jelas Mardian.
Bimtek yang berlangsung sejak Kamis (14/2/2019) tersebut, tak hanya diisi dengan materi, namun juga praktik dalam membuat permohonan online bagi caleg yang berasal dari parpol. (Sri Pujianti/LA)