JAKARTA, HUMAS MKRI - Pentingnya penambahan anggota badan pengawas pemilu (Bawaslu) sebenarnya disadari pembentuk undang-undang, namun aturan jumlah anggota Bawaslu hanya tiga orang diambil berdasarkan pertimbangan jumlah penduduk dan pemilih. Akan tetapi, hal tersebut tidak relevan karena sebenarnya dinamika politik pemilu bergantung pada peserta pemilu dan profesionalitas penyelenggara, bukan bergantung pada pemilih.
Hal ini disampaikan oleh Ahli Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Bambang Eka Cahya Widodo yang dihadirkan Pemohon Perkara Nomor 93/PUU-XVI/2018 dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Perkara ini dimohonkan oleh Palaloi, Abdul Rasyid, Sitefano Gulo, dan Alex serta Melianus Laoli (para Pemohon) dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 92 ayat (2) huruf c frasa “3 (tiga) atau 5 (lima) orang” yang digelar pada Rabu (13/2/2019) pagi.
Lebih lanjut, Bambang menjelaskan bahwa sengketa pemilu pada dasarnya adalah konflik yang dilembagakan, sehingga potensi terjadinya sengketa selalu ada. “Dan jika tidak disiapkan institusi yang memadai (Bawaslu) untuk menangani sengketa pemilu tersebut, maka akan sangat mungkin terjadi eskalasi konflik pemilu itu sendiri,” ujar Bambang dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Kewenangan Tambahan
Dalam keterangannya, Bambang juga menyampaikan pengalaman yang dialaminya ketika menjabat sebagai Ketua Badan Pengawas Pemilu pada 2011. Ia menyebut kala itu, Bawaslu memiliki kewenangan tambahan berdasarkan UU a quo. Pada awalnya, Bawaslu merupakan lembaga yang hanya berwenang melakukan pencegahan terjadinya konflik pemilu, sekarang harus mengupayakan penyelesaian sengketa pemilu yang diperintahkan undang-undang serta pemeriksaannya bersifat terbuka.
“Kalau hanya 2 anggota Bawaslu Kabupaten/Kota akan sulit mengambil keputusan. Jika 3 jadi 5 maka penambahan beban itu dan disesuaikan pula dengan indeks kerawanan pemilu yang tinggi pada daerah-daerah yang jauh dari pusat, maka itu dapat dijadikan dasar untuk menentukan. Walaupun itu sesungguhnya tidak bisa dijadikan dasar yang mutlak,” jelas Bambang.
Sebelumnya, para Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 92 ayat (2) huruf c yang berbunyi, “Jumlah anggota: ... c. Bawaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) atau 5 (lima) orang”. Para Pemohon menyampaikan pemilu yang berintegritas dan bermartabat tidak akan terlaksana secara maksimal mengingat jumlah penyelenggara 5 berbanding 3 orang jumlah Bawaslu yang harus melaksanakan penyelenggaraan pemilu. Penambahan personil tersebut dinilai perlu untuk mengimbangi personil atau anggota Bawaslu Kabupaten/Kota dalam pengawasan guna tercapainya pemilu yang demokratis. Selain itu menurut Mustafa Bawaslu dalam penyelenggaran Pemilu 2019 nanti memiliki beban kerja yang banyak dan rumit sehingga dikhawatirkan pelanggaran terkait pemilu bertumpu pada Bawaslu Kabupaten/Kota. Untuk itu, dalam Petitum, para Pemohon meminta pada Mahkamah agar menyatakan pasal tersebut beserta penjelasan dan lampiran frasa 3 (tiga) atau 5 (lima) orang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 5 (lima) orang. (Sri Pujianti/LA)