Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 87 ayat (4) huruf B dan D Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), pada Rabu (16/1/2019). Awalnya agenda sidang perkara Nomor 87, 88 , dan 91/PUU-XVI/2019 adalah mendengar keterangan ahli Pemohon. Akan tetapi, agenda tersebut ditunda karenaAhli terlambat memasukkan CV dan keterangan tertulis.
Ketua MK Anwar Usman menyatakan penerimaan CV dan keterangan tertulis Ahli harus diajukan setidaknya dua hari sebelum sidang. Sedangkan Pemohon perkara Nomor 91/PUU-XVI/2018 mengirimkan pada hari Selasa Pukul 19.57 WIB melalui email. “Artinya keterangan ahli belum bisa didengar hari ini. Kalaupun mau didengar, pada sidang yang akan datang atau keterangannya dianggap keterangan tertulis saja,” jelasnya.
Tjoejoe S. Hernanto selaku kuasa hukum menyatakan tetap ingin keterangan Pemohon didengarkan di persidangan. Atas dasar ini, Anwar menyatakan sidang ditunda serta dilanjutkan kembali pada Selasa 29 Januari 2019 pukul 11.00 WIB.
Dalam persidangan yang sama, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengingatkan pada Pemohon Perkara Nomor 87/PUU-XVI/2018 terkait masalah kedudukan hukum (legal standing). Hal ini karena MK mendapat surat dari Ketua Korpri Zudan Arif Fakrulloh bahwa Pemohon tidak mewakili organisasi.
“Kami sudah menyampaikan ada keberatan itu di dalam sidang resmi. Sekarang terserah kepada Saudara, apakah Saudara akan menanggapi nanti dalam kesimpulan itu urusan dari Saudara Pemohon. Tetapi itu adalah bagian dari yang akan kami pertimbangkan di dalam putusan Mahkamah karena ada surat keberatan ini,” jelasnya.
Sebelumnya, perkara yang teregistrasi dengan Nomor 87/PUU-XVI/2018 diajukan oleh Hendrik. Kemudian, lima Pemohon mengajukan perkara Nomor 88/PUU-XVI/2018, yaitu Fatah Yasin, Panca Setiadi, Nawawi, Nurlaila, dan Djoko Budiono. Para Pemohon mendalilkan dirugikan dengan berlakunya Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 87 ayat (4) UU ASN yang mengatur tentang pemberhentian ASN. Pemohon yang pernah menjadi terpidana mendalilkan kata “dapat” dalam Pasal 87 ayat (2) UU ASN dapat menimbulkan pelaksanaan norma yang bersifat subjektif berdasarkan pelaksana undang-undang. Selanjutnya, menurut Pemohon, frasa “melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana” dalam Pasal 87 ayat (4) huruf d tidak memuat klasifikasi tindak pidana secara spesifik. Hal tersebut dinilai Pemohon menimbulkan ketidakjelasan dalam penerapan norma a quo. Pemohon menyimpulkan, bahwa seluruh norma yang Pemohon ujikan pada dasarnya telah bertentangan dengan “Asas Dapat Dilaksanakan”, “Asas Kejelasan Rumusan”, “Asas Keadilan”, “Asas Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan”, dan “Asas Kepastian dan Kepastian Hukum.”
Sementara itu, Pemohon perkara Nomor 88/PUU-XVI/2018, merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN yang dinilai mengandung ketidakpastian hukum karena menghalangi Pemohon untuk aktif, serta memperoleh kesempatan yang sama di dalam pemerintahan. Untuk itu, para Pemohon meminta kedua pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. (Arif Satriantoro/LA)