Aturan pemberhentian Aparatur Sipil Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 87 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) menimbulkan ketidakpastian hukum karena adanya pilihan sanksi terhadap ASN yang melanggar hukum. Hal ini disampaikan oleh Dian Puji Nugraha Simatupang yang dihadirkan Pemohon Perkara Nomor 87/PUU-XVI/2018 dan 88/PUU-XI/2018 dalam sidang uji materiil UU ASN pada Selasa (8/1/2019).
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu menyebut ketentuan norma yang memberikan pilihan menimbulkan ketidakpastian mengenai standar, syarat, kriteria, dan prosedur dalam menentukan sanksi. “Pilihan tersebut menciptakan kerumitan administrasi negara menyangkut alas hukum dan alas fakta dalam hal keputusan diberhentikan atau tidak diberhentikan yang pada gilirannya, akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya, sehingga tidak akan prosesual bagi setiap aparatur sipil negara yang akan diterapkan,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Menurut Dian, suatu aturan mengenai sanksi perlu membedakan antara bentuk pelanggarannya, administrasi atau pidana. “Pembedaan tersebut, lebih jelas dibandingkan penormaan dengan kata tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat dua tahun dan pidana yang dilakukan tidak terencana yang dalam bayangan pemikiran pembentuk norma kemungkinan ditujukan kepada pidana umum,” terangnya.
Dian pun menyarankan agar sanksi dalam ketentuan Pasal 87 ayat (2) UU ASN menyesuaikan dengan sanksi yang tercantum dalam Pasal 80 dan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum dan hak bagi ASN yang beriktikad baik dalam menjalankan tugas pokok, fungsi, dan wewenangnya. “Sebaiknya disanksinya disesuaikan dengan ketentuan Pasal 80 sampai Pasal 83 (UU Administrasi Pemerintahan). Dengan demikian, terdapat harmonisasi, sinkronisasi, dan integrasi yang baik dalam pengenaan sanksi terhadap aparatur sipil negara, serta memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik,” sarannya.
Tidak Memiliki Kedudukan Hukum
Sementara itu, DPR yang diwakili oleh Anggota Komisi III Arteria Dahlan menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). DPR berpendapat Pemohon tidak mendalilkan kerugian hak atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik, aktual, dan potensial. Dirinya pun membantah pandangan Pemohon terkait aturan itu bersifat diskriminatif. Arteria menyebut pasal yang diujikan berlaku tak hanya untuk Pemohon saja , tetapi untuk ASN seluruh Indonesia. Aturan tersebut juga mengandung pembedaan atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik.
Sebelumnya, perkara yang teregistrasi dengan Nomor 87/PUU-XVI/2018 diajukan oleh Hendrik. Kemudian, lima Pemohon mengajukan perkara Nomor 88/PUU-XVI/2018, yaitu Fatah Yasin, Panca Setiadi, Nawawi, Nurlaila, dan Djoko Budiono. Para Pemohon mendalilkan dirugikan dengan berlakunya Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 87 ayat (4) UU ASN yang mengatur tentang pemberhentian ASN. Pemohon yang pernah menjadi terpidana mendalilkan kata “dapat” dalam Pasal 87 ayat (2) UU ASN dapat menimbulkan pelaksanaan norma yang bersifat subjektif berdasarkan pelaksana undang-undang. Selanjutnya, menurut Pemohon, frasa “melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana” dalam Pasal 87 ayat (4) huruf d tidak memuat klasifikasi tindak pidana secara spesifik. Hal tersebut dinilai Pemohon menimbulkan ketidakjelasan dalam penerapan norma a quo. Pemohon menyimpulkan, bahwa seluruh norma yang Pemohon ujikan pada dasarnya telah bertentangan dengan “Asas Dapat Dilaksanakan”, “Asas Kejelasan Rumusan”, “Asas Keadilan”, “Asas Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan”, dan “Asas Kepastian dan Kepastian Hukum.”
Sementara itu, Pemohon perkara Nomor 88/PUU-XVI/2018, merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN yang dinilai mengandung ketidakpastian hukum karena menghalangi Pemohon untuk aktif, serta memperoleh kesempatan yang sama di dalam pemerintahan. Untuk itu, para Pemohon meminta kedua pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. (Arif Satriantoro/LA)