Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) terhadap UUD 1945 pada Selasa (18/12). Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 102/PUU-XVI/2018 ini dimohonkan oleh para dosen yang terdiri dari Yovita Arie Mangesti, Hervina Puspitosari, Bintara Sura Priambada, dan Ashinta Sekar Bidari. Para Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan atau berpotensi dirugikan dengan berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK, terutama frasa “penyidikan”.
Menurut Pemohon, dalam menjalankan wewenangnya, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP. Namun menurut Pemohon, menerangkan bahwa terhadap wewenang penyidikan yang diberikan UU OJK kepada PPNS OJK, sama sekali tidak ada ketentuan norma yang secara eksplisit menyatakan: “Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang hukum acara pidana”, atau setidak-tidaknya menyatakan: “Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil berkoordinasi dengan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia”.
Husdi Herman selaku kuasa hukum mempermasalahkan wewenang penyidikan yang dimiliki OJK di dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang OJK. Wewenang penyidikan dimasukkan ke dalam lingkup luas tugas pengawasan sebagaimana diatur dalam ketentuan norma Pasal 9 huruf c Undang-Undang OJK.
“Wewenang penyidikan dijalankan oleh penyidik diatur dalam ketentuan norma Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang OJK. Selanjutnya, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) OJK diberikan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang OJK. Kedudukan PPNS dalam sistem peradilan pidana atau criminal justice system diakui keberadaannya karena termuat dalam KUHAP, yakni pada Pasal 6 ayat (1) huruf b,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Dalam menjalankan wewenangnya, kata Husdi, PPNS tugasnya berada di dalam koordinasi dan pengawasan penyidikan Polri dan diatur dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP. Sayangnya, pada Pasal 49 ayat (3) OJK tidak mengkaitkan diri dengan KUHAP. Isinya menyebut PPNS OJK berwenang meminta bantuan aparat penegak hukum. “Artinya, jika tidak dibutuhkan, maka PPNS OJK dapat melakukan penyidikan tanpa berkoordinasi ataupun meminta bantuan penegak hukum lainnya yakni penyidik Polri,” tegasnya.
Pemohon menegaskan, apabila melihat wewenang Penyidik OJK yang termuat dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK, terdapat beberapa ketentuan norma yang melanggar asas due process of law dan dapat menimbulkan kesewenangan-wenangan dari penyidik OJK. Pemohon berpendapat Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK, terutama frasa “penyidikan”, yang memberikan wewenang penyidikan bertentangan dengan asas due process of law dalam sistem penegakan hukum pidana (criminal justice system), serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil bagi seseorang yang disangka melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Berdasarkan argumentasi tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan frasa “penyidikan” dalam Pasal 1 angka dan Pasal 9 huruf C UU OJK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta permohonan diperingkas. Selain itu, ia menyarankan dalil mengenai KUHAP tidak perlu terlalu elaboratif. Sementara terkait legal standing dinilai belum bersifat spesifik. “Kalau ada dosen peneliti merasa dirugikan hak konstitusionalnya, itu tidak cukup sampai di situ karena itu tidak spesifik. Menyangkut masalah penyidikan sudah dinyatakan konstitusional dalam putusan sebelumnya. Jika sekarang hal yang sama dipermasalahkan kembali, maka harus melalui argumentasi yang lebih kuat,” tegasnya.
Sementara Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul juga meminta kedudukan hukum diperkuat. “Itu yang perlu lebih mendalam menurut saya. Pertama, itu ada hubungannya nanti dari legal standing dari Para Pemohon yang sudah berkiprah dalam pendidikan, misalnya. Nah, juga dalam tugas sebagai apa tadi? Advokat misalnya,” jelasnya. (Arif Satriantoro/LA)