Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP SBSI) yang menguji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Rabu (12/12).
Sebelumnya, Pemohon menilai Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu menyatakan keberpihakan kepada para mantan pejabat korupsi yang kejahatannya telah merugikan warga negara Indonesia khususnya para pekerja/buruh, pegawai negeri sipil bergaji kecil, dan pekerja/buruh swasta yang tenaganya hanya diperas. Akibatnya, mereka tidak bisa sejahtera akibat korupsi yang merajalela. Selain itu, Pemohon berpendapat bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali dalam rangka membentuk pemerintahan yang bersih tanpa adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Lebih jelas Pemohon menyatakan bahwa dengan lahirnya UU Pemilu sangat menciderai rasa keadilan buruh sebagai pemilih pada Pemilu 2019.Buruh yang merupakan kelompok masyarakat yang selalu ikut dalam setiap pemilihan umum berharap anggota DPR RI dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota bisa menjalankan tugasnya tanpa ada korupsi dan menyampaikan aspirasi buruh. Untuk itu, Pemohon dalam petitum meminta agar Mahkamah menyatakan pasal a quo tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa kejahatan extraordinary kejahatan korupsi, kejahatan narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan kejahatan teroris.
Terhadap perkara Nomor 83/PUU-XVI/2018, Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang membacakan Pendapat Mahkamah, menyatakan setelah memeriksa permohonan serta bukti-bukti yang disertakan, maka telah nyata objek permohonan telah pernah diujikan serta diputus sebagaimana tertuang dalam Putusan MK Nomor 81/PUU-XVI/2018 yang menyatakan menolak permohonan para Pemohon.
Sementara itu, meskipun secara eksplisit Pemohon menyebutkan dasar pengujian dengan pasal UUD 1945 yang berbeda, yakni Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 namun secara substansi adalah sama. Sehingga Mahkamah tidak menemukan adanya materi muatan UUD 1945 yang berbeda dalam pengajuan permohonan a quo. “Oleh karena itu, tidak terdapat alasan bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan keberlakukan Pasal 60 ayat (2) UU MK,” urai Arief.
“Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum, Mahkamah berkesimpulan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-XVI/2018 mutatis mutandis berlaku terhadap permohonan a quo,” ucap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang putusan yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK. (Sri Pujianti/LA)