Sidang perbaikan permohonan uji Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (4/12). Ma’ruf selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan sejumlah perbaikan permohonan, di antara memperbaiki kedudukan hukum serta kerugian konstitusional.
“Mengenai bagian pendahuluan, Pemohon menghilangkan dan meleburkan ke dalam kedudukan hukum. Selanjutnya pada bagian kerugian konstitusional, kami melakukan pendalaman kerugian konstitusional Pemohon dalam perbaikan Permohonan tercantum dalam poin 14 sampai 16. Pemohon telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Telekomunikasi. Pemohon tidak mempunyai kesempatan yang sama dengan subjek yang diperkenankan oleh ketentuan Undang-Undang Telekomunikasi tersebut untuk menghadirkan rekaman percakapan dan transkrip percakapan dalam proses peradilan pidana,” ujar Ma’ruf.
Implikasi dari berlakunya ketentuan tersebut, lanjut Ma’ruf, mengakibatkan Pemohon sebagai pencari keadilan tidak memiliki hak untuk meminta informasi rekaman percakapan kepada penyelenggara telekomunikasi. Terutama, lanjutnya, dalam rangka pembelaan di persidangan pidana yang tengah Pemohon jalani ketika subjek yang ditentukan dalam norma tersebut tidak mau mengajukan bukti rekaman percakapan ke hadapan persidangan.
“Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Telekomunikasi telah menentukan untuk kepentingan proses peradilan pidana. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), pemberian rekaman percakapan tidak merupakan pelanggaran,” ungkap Ma’ruf.
Oleh karena itu, kata Ma’ruf, justru pembatasan subjek yang dapat meminta rekaman percakapan yang hanya terbatas pada Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan penyidik untuk tindak pidana tertentu telah menjadikan Pemohon sebagai seorang yang menyandang status terdakwa tidak dapat mengajukan sendiri bukti rekaman percakapan untuk kepentingan pembelaan ke hadapan persidangan.
“Padahal rekaman percakapan tersebut dapat berguna untuk menemukan kebenaran materiil terhadap perkara Pemohon di Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk membuktikan ada atau tidaknya komunikasi antara Pemohon dengan siapapun berkenaan peredaran gelap narkotika. Karena Pemohon sebagai seseorang yang menyandang status terdakwa tidak bisa mengajukan sendiri bukti rekaman percakapan untuk kepentingan pembelaan Pemohon ke hadapan persidangan, norma tersebut telah bertentangan dengan prinsip due process of law yang menentukan seorang tersangka atau terdakwa in casu Pemohon memiliki posisi yang sama saat menjalani proses peradilan pidana dengan aparat penegak hukum,” ucap Ma’ruf panjang lebar kepada Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat tersebut.
Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 94/PUU-XVI/2018 tersebut dimohonkan oleh Sadikin Arifin. Pemohon berdalih bahwa determinasi Pemohon untuk meminta bukti rekaman percakapan dihadirkan ke hadapan persidangan, bukan tanpa dasar. Karena bukti rekaman tersebut menurut Pemohon memiliki kedudukan yang krusial untuk membuktikan benar tidaknya ada pembahasan narkotika antara Pemohon dengan warga negara asing (WNA) yang dituduh bersama-sama menjalankan kejahatan narkoba.
Hal ini menurut Pemohon, didasarkan karena sepanjang pembuktian di persidangan pidana Pemohon. Terdapat setidaknya fakta antara lain bahwa seseorang yang dituduh bersama-sama dengan Pemohon melakukan tindak pidana peredaran gelap narkotika telah meninggal dunia akibat ditembak oleh petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) saat penangkapan perkara, yang kemudian menjerat Pemohon sebagai terdakwa tunggal dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Selain itu, keterangan Pemohon sepanjang persidangan telah menyangkal barang tersebut bukan sebagai miliknya, bahkan menyangkal adanya komunikasi dengan WNA yang telah dibunuh petugas BNN atau dengan siapapun yang membahas hal-hal yang berkaitan dengan narkotika. Pemohon juga menyangkal tidak ada hasil pemeriksaan laboratorium yang menyatakan urine Pemohon mengandung atau pernah menggunakan narkotika atau psikotropika. Juga pada saat penggeledahan di tempat tinggal Pemohon tidak ditemukan narkotika atau setidaknya hal-hal yang berkaitan dengan narkotika.
Kemudian dalam perkara pidana Pemohon, KTP Pemohon disita oleh penyidik, dan setelah ditanyakan dalam persidangan kepada petugas BNN yang menjadi saksi, ternyata urgensi KTP Pemohon diletakkan penyitaan adalah untuk membuktikan identitas Pemohon. Oleh karena itu, Pemohon juga bertanya-tanya mengapa tidak ada bukti yang menunjukkan adanya percakapan antara Pemohon dengan WNA atau dengan siapapun yang membahas hal-hal yang berkaitan dengan narkotika.(Nano Tresna Arfana/LA)