Adanya kesalahan penafsiran frasa “Organisasi Advokat” bagi para advokat yang ada di Indonesia dalam memaknai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), maka para advokat serta organisasi yang menaunginya perlu membentuk satu komando agar kemelut penafsiran organisasi tunggal advokat dapat menemukan titik temu yang adil. Hal ini guna meningkatkan kualitas profesi advokat sebagaimana amanat UU tersebut.
Demikian keterangan Suhardi Somomoeljono dihadirkan Federasi Advokat Republik Indonesia (Ferari) sebagai Ahli Pihak Terkait dalam sidang lanjutan pengujian UU Advokat yang digelar pada Senin (26/11) di Ruang Sidang Pleno MK.
Selain itu, Suhardi merunut pada sejarah panjang organisasi advokat, sebelum lahirnya UU Advokat bahwa telah ada Komite Kerja Advokat Indonesia(KKAI) sebagai wadah seluruh advokat sebagaimana termaktub dalam Kode Etik Advokat. Lebih lanjut, Suhardi menyatakan bahwa dalam aturan tersebut dinyatakan Komite Kerja Advokat Indonesia mewakili organisasi-organisasi profesi tersebut - IkatanAdvokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI) dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) – sesuai dengan Pernyataan Bersama tertanggal 11 Februari 2002 dalam hubungan kepentingan profesi Advokat dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintah.
Sehingga menurut pandangan Suhardi, KKAI yang secara ex-officio yang menaungi kedelapan organisasi advokat tersebut yang lahir sebelum perumusan UU Advokat. “Dengan demikian, mari akhiri perdebatan berkepanjangan dari organisasi advokat yang ada saat ini karena pada hakikatnya muara organisasi advokat itu ada yang lahir sebelum UU Advokat terbentuk yang terdiri atas delapan organisasi advokat tadi yang sah secara de facto dan de jure. Dan setelah lahirnya UU Advokat, seperti Peradi, KAI, dan organisasi advokat lainnya adalah tetap sah juga secara de facto sebagai organisasi advokat,” sampai Suhardi di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Sebelumnya, para Pemohon Perkara Nomor 35/PUU-XVI/2018 menyatakan tidak mendapat kepastian hukum akan organisasi advokat yang sah dan konstitusional untuk melaksanakan wewenang yang diatur dalam UU Advokat. Para Pemohon mendalilkan norma frasa “organisasi advokat” yang diatur dalam Undang-Undang Advokat saat ini bersifat multitafsir yang memungkinkan pihak-pihak tertentu seperti Kongres Advokat Indonesia (KAI), dan Perhimpunan Advokat Republik Indonesia (Peradri), atau Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia memberi tafsiran berbeda atau tafsiran lain yang inkonstitusional karena tidak sesuai dengan original intent atau tujuan teleologis pembentukan norma frasa “organisasi advokat” yang diatur dalam Undang-Undang Advokat. Hal itu dapat dijelaskan dengan adanya tafsir dari KAI terkait organisasi advokat yang berhak melaksanakan wewenang yang diatur dalam Undang-Undang Advokat adalah “Kongres Advokat Indonesia”. KAI dalam hal ini bermaksud menghimpun para advokat Indonesia dalam wadah tunggal sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Advokat ex Pasal 10 huruf a Akta Pendirian Organisasi Kongres Advokat Indonesia.
Sebelum menutup persidangan, Anwar mengingatkan sidang akan dilanjutkan pada Senin, 17 Desember 2018 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengatrkan keterangan Ahli para Pemohon serta Ahli dari IKADIN Roberto Hutagalung (Pihak Terkait Ke-8) beserta satu orang saksi. (Sri Pujianti/LA)