Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (21/11) siang. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 94/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Sadikin Arifin yang menguji Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi.
Kuasa hukum Pemohon, Ma’ruf menerangkan bahwa Pemohon dalam permohonan a quo memiliki kepentingan konstitusional karena keberlakuan Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi dianggap telah bertentangan dengan prinsip negara hukum dan hak-hak konstitusional Pemohon. Sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemohon beranggapan bahwa Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi hanya membatasi subjek hukum yang dapat memperoleh rekaman percakapan pada Jaksa Agung, dan/atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan penyidik untuk tindak pidana tertentu. Ketentuan ini tidak memberikan landasan hak bagi subjek lain, yaitu tersangka dan/atau terdakwa in casu Pemohon di dalam proses peradilan pidana untuk memperoleh rekaman percakapan.
Dengan demikian, kata Ma’ruf, ketentuan a quo tidak memberikan kesempatan bagi Pemohon untuk mengajukan bukti di persidangan pidana guna kepentingan pembelaan Pemohon. Selain itu, implikasi dari ketentuan a quo telah mencederai hak atas peradilan yang adil (right to a fair trial) Pemohon dalam proses peradilan pidana yang tengah Pemohon jalani.
Sementara itu, kuasa hukum Pemohon lainnya, Dominggus Christian menanggapi pokok permohonan Pemohon bahwa ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi telah bertentangan dengan prinsip due process of law karena tidak membuka ruang bagi tersangka atau terdakwa guna kepentingan pembelaan untuk dapat meminta rekaman informasi percakapan, sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Selain itu, ungkap Dominggus, MK dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 65/PUU-VII/2010 tertanggal 8 Agustus 2011 yang menyatakan, “Hukum acara pidana berfungsi untuk membatasi kekuasaan negara terhadap individu dan/atau masyarakat, terutama tersangka dan terdakwa yang terlibat dalam proses tersebut.”
“Dalam hukum acara pidana, pembuktian pada hakikatnya memiliki peranan penting untuk menentukan seseorang dapat dipidana atau tidak atas suatu perbuatan yang ia lakukan. Ketika memang perbuatan yang diduga ia lakukan adalah perbuatan yang telah ditetapkan secara tertulis melawan hukum pidana. Karena melalui pembuktian itulah negara dapat menentukan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang ia telah lakukan,” papar Dominggus.
Dijelaskan Dominggus, pembuktian merupakan suatu proses untuk menentukan dan menetapkan serta memutuskan kesalahan seseorang menjadi bagian yang sangat krusial dari rumpun hukum acara pidana. Dalam proses persidangan Pemohon di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, jaksa penuntut umum menyatakan tidak sanggup memenuhi permintaan Pemohon untuk menghadirkan rekaman percakapan dan transkrip.
Perbaiki Sistematika Permohonan
Terhadap dalil-dalil Pemohon, Hakim Konstitusi Aswanto menyoroti sistematika permohonan Pemohon. “Permohonan Saudara sudah bisa kita pahami sistematikanya. Walaupun ada yang tidak lazim dalam permohonan yang tidak lazim itu. Pendahuluan tidak lazim itu. Dalam permohonan pengujian undang-undang itu ada empat bagian sebenarnya yang paling penting,” ucap Aswanto.
“Saya belum bisa menangkap kerugian konstitusional Saudara dengan adanya norma yang Saudara minta untuk diuji. Mestinya Saudara harus mengelaborasi kembali sehingga tampak bahwa tidak diberikannya hak untuk meminta rekaman itu suatu yang melanggar Konstitusi,” tambah Aswanto.
Sedangkan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menasehati Pemohon agar Kewenangan Mahkamah Konstitusi ditulis tidak terlalu rumit, cukup dikutip Undang-Undang Dasar Tahun 1945, kemudian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Demikian juga di bagian kedudukan hukum, Palguna menyarankan Pemohon agar menulis mulai dari norma yang dimohonkan pengujian. (Nano Tresna Arfana/LA)