Pembentukan sebuah organisasi tunggal bagi advokat merupakan langkah tepat agar tidak sulit mencari standardisasi profesi advokat. Hal ini disampaikan Pakar Hukum Universitas Islam Indonesia Muhammad Arif Setiawan yang dihadirkan Pemohon dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) pada Rabu (31/10) di Ruang Sidang Pleno MK.
Lebih lanjut, Arif menjelaskan bahwa dalam kehidupan internal advokat sebagai profesi terhormat yang berada dalam perlindungan hukum diwujudkan dalam sebuah kode etik profesi yang bersifat etika pilihan serta terapan yang bernaung dalam sebuah organisasi profesi advokat. Hal ini diperlukan agar dalam menjalankan tugasnya, para advokat selalu berpedoman pada prinsip kemandirian, keterbukaan, saling mengormati, dan wajib menjaga citra profesi advokat. Sedangkan dalam kehidupan eksternal advokat, terdapat norma yang mengatur profesi advokat yang dibuat oleh negara melalui peraraturan perundang-undangan, yakni UU Advokat. Adanya UU Advokat merupakan pengakuan negara sebagai de facto dan de jure. Melalui organisasi profesi advokat, para advokat dapat berhimpun dan dibina serta diawasi dalam menjalankan profesi sesuai dengan tujuan pendirian organisasi profesi tersebut.
“Dengan adanya deklarasi pendirian Peradi sebagai wadah satu-satunya organisasi advokat adalah sah dengan alasan: Pertama, deklarasi ini menurut UU Advokat dilakukan sesuai batas waktu yakni 2 tahun setelah disahkannya UU Advokat; kedua yang mendatangani deklarasi ini adalah 8 organisasi yang pada UUAdvokat,” jelas Arif terhadap sidang perkara Nomor 35/PUU-XVI/2018 yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman yang didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Semangat Perbaikan
Pada kesempatan yang sama, Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Jimmy Maruli yang hadir selaku Pihak Terkait menyampaikan bahwa sejak UU Advokat disahkan, sudah terdapat 20 kali pengujian ke MK. Mendapati hal ini, MA meninjau dua sisi dari perkara ini, yakni adanya semangat perbaikan hukum secara konstitusional serta hanya demi meraih kekuasaan dan kepentingan. Menurut Jimmy, dengan terlampau seringnya norma diuji maka secara sosiologis hal tersebut dapat saja melegitimasi advokat itu sendiri sehingga mengurangi maruah advokat sendiri. “Terhadap dalil Pemohon untuk perlu adanya standardisasi untuk organisasi advokat, maka MA mendukung karena hal ini juga menjadi sarana untuk mendukung MA sebagai peradilan agung di Indonesia,” urai Jimmy.
Adapun berhubungan dengan dalil Pemohon lainnya yang mengaitkan perkara a quo dengan SEMA Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 tentang Penyumpahan Advokat terutama Angka 6 dan 7 sehingga menilai Ketua MA membuat tafsir keliru, Jimmy mengajak semua pihak untuk mengkaji lebih lanjut latar belakang lahir dan terbitnya surat tersebut. “Pada intinya, surat ini lahir sebagai pintu untuk memudahkan masyarakat memahami tentang hukum dan usaha agar adanya legalitas advokat karena banyaknya organisasi advokat yang berkembang di lingkungan profesi advokat,” terang Jimmy.
Wadah Tunggal
Sementara itu, Ikatan Advokasi Indonesia (Ikadin) yang diwakili Sutrisno menyampaikan keterangan bahwa sejak 10 November 1985 Ikadin sudah memosisikan diri sebagai wadah tunggal organisasi profesi bagi advokat. Sebagai organisasi perjuangan, Ikadin berjuang untuk menjaga martabat profesi advokat. Ketika UU Advokat disahkan, tambah Sutrisno, Ikadin bersama-sama dengan tujuh organisasi lainnya diberi tugas membentuk organisasi advokat. Pada masa itu, Ikadin mengadakan Munas Luar Biasa dan bersepakat menjadikan organisasi advokat sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas advokat. Diakui Sutrisno bahwa meskipun Ikadin sudah miliki 121 cabang, sebagai bentuk konsistensinya sebagai organisasi advokat, maka Ikadin tidak pernah menyelenggarakan kewenangan sebagaimana Peradi.
“Jadi, kewenangan untuk mengangkat advokat tetap diserahkan pada Peradi. Untuk itu, kami sependapat permohonan yang diajukan ini agar dikabulkan. Sehingga tidak ada lagi multitafisir dengan banyaknya pengertian organisasi advokat ini. Karena hal ini berakibat pada semakin menurunnya kualitas advokat,” jelas Sutrisno.
Deklarasi
Sedangkan Ketua Umum DPP IKADIN Otto Hasibuan selaku Saksi yang dihadirkan Pemohon menceritakan bahwa IKADIN merupakan organisasi yang dibentuk pemerintah agar bisa dikoordinir dengan mudah. Pada masa reformasi, kisah Otto, advokat ada namun belum terdapat UU yang mengakuinya sehingga direncanakan untuk dibuatkan UU setelah dihimpunnya tujuh organisasi advokat yang ada menjadi Komite Kerja Adokat Indonesiadi Sari Pasifik Jakarta. Adapun tugasnya adalah melaksanakan ujian advokat bersama MA karena tidak ada pengangkatan advokat selama 6 tahun, membentuk kode etik advokat, dan memperjuangkan UU Advokat. “Atas dasar ini terbentuklah UU Advokat,” terang Otto.
Setelah disahkannya UU Advokat, maka masing-masing organisasi yang ada tersebut ditambah dengan Asosiasi Advokat Syariah Islam melakukan Munas. Pada pertemuan tersebut, disepakati dibentuk serta dideklarasikannya Peradi pada 21 Desember 2004 dan melaporkan hasil deklarasi tersebut pada pemerintah, MA, dan jaksa agung. “Kenapa kami memilih deklarasi? Karenatidak diatur dalam UU Advokat cara melakukan musyawarah ini, tidak ada anggaran dasar, sistem, dan bahkan ketentuanbiaya.Maka kami putuskan dengan cara deklarasi dan organisasi advokat inilah yang diakui pemerintah. Jadi begitulah sejarah terbentuknya,” jelas Otto.
Sebelumnya, sejumlah Advokat yang terdiri atas Bahrul Ilmi Yakup, Shalil Mangara Sitompul, Gunadi Handoko, Rynaldo P. Batubara, Ismail Nganggon, dan perseorangan warga negara calon advokat atas nama Iwan Kurniawan tercatat menjadi Pemohon menyatakan tidak mendapat kepastian hukum akan organisasi advokat yang sah dan konstitusional untuk melaksanakan wewenang yang diatur dalam UU Advokat.Para Pemohon mendalilkan norma frasa “organisasi advokat” yang diatur dalam Undang-Undang Advokat saat ini bersifat multitafsir yang memungkinkan pihak-pihak tertentu seperti Kongres Advokat Indonesia (KAI), dan Perhimpunan Advokat Republik Indonesia (Peradri), atau Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia memberi tafsiran berbeda atau tafsiran lain yang inkonstitusional karena tidak sesuai dengan original intent atau tujuan teleologis pembentukan norma frasa “organisasi advokat” yang diatur dalam Undang-Undang Advokat.Hal itu dapat dijelaskan dengan adanya tafsir dari KAI terkait organisasi advokat yang berhak melaksanakan wewenang yang diatur dalam Undang-Undang Advokat adalah “Kongres Advokat Indonesia”. KAI dalam hal ini bermaksud menghimpun para advokat Indonesia dalam wadah tunggal sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Advokat ex Pasal 10 huruf a Akta Pendirian Organisasi Kongres Advokat Indonesia.
Sebelum mengakhiri persidangan, Anwar menyampaikan persidangan berikutnya diselenggarakan pada Senin, 26 November 2018 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan Keterangan DPR dan Keterangan Ahli dari Pemohon serta FERARI. (Sri Pujianti/LA)