Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materiil aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Putusan Nomor 49/PUU-XVI/2018 tersebut dibacakan pada Kamis (25/10) di Ruang Sidang Pleno MK. “Menolak Permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Anwar Usman didampingi delapan hakim lainnya. MK menyatakan Permohonan tidak beralasan menurut hukum.
Para aktivis demokrasi yang terdiri dari Muhammad Busyro Muqoddas, Hadar Nafis Gumay, Bambang Widjojanto, dkk., Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah serta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) diwakili Titi Anggraini mempermasalahkan keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu. Pemohon mendalilkan ambang batas pencalonan presiden pada dasarnya adalah “syarat” calon presiden. Sedangkan ketentuan yang didelegasikan oleh UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 adalah “tata cara” pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Pemohon menyebut ambang batas 25% berdasarkan Pasal 222 UU Pemilu nyata-nyata menambahkan pembatasan baru, yang tidak ada dalam ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yaitu berdasarkan hasil suara dan kursi “Pemilu anggota DPR sebelumnya”. Hal demikian dinilai Pemohon bertentangan dengan norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang hanya mengatur parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu sesuai original intent atau perumusan norma tersebut, yakni sesuai pemilu yang saat itu akan dilaksanakan.
Dalam pendapat Mahkamah, Wakil Ketua MK Aswanto menyatakan argumentasi Pemohon bahwa Pasal 222 UU Pemilu berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum yang harus diantisipasi oleh Mahkamah. Hal demikian tidaklah beralasan sama sekali karena rumusan Pasal 222 UU Pemilu a quo tidak memberi ruang untuk ditafsirkan berbeda karena telah sangat jelas.
Selain itu, argumentasi para Pemohon bahwa presidential threshold menghilangkan esensi pemilihan presiden karena lebih berpotensi menghadirkan capres tunggal. Hal demikian meskipun sekilas tampak logis namun mengabaikan fakta bahwa UUD 1945 tidak membatasi warga negara untuk mendirikan partai politik sepanjang syarat untuk itu terpenuhi sebagaimana diatur dalam undang-undang.
“Sehingga, kendatipun diberlakukan syarat parliamentary threshold, kemungkinan untuk lahirnya partai-partai politik baru akan tetap terbuka, sebagaimana terbukti dari kenyataan empirik yang ada selama ini sejak dijaminnya kemerdekaan berserikat dan berkumpul, terutama setelah dilakukan perubahan UUD 1945. Terlebih lagi, untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden, sebuah partai politik terlebih dahulu haruslah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,” jelasnya.
Tak Miliki Kedudukan Hukum
Dalam sidang yang sama, MK juga memutus perkara serupa terkait syarat ambang batas capres dan cawapres. MK memutus tidak dapat menerima Perkara Nomor 50/PUU-XVI/2018.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. Seandainya Pemohon memiliki kedudukan hukum, norma yang diujikan Pemohon tidak bertentangan dengan Konstitusi.
Pemohon perkara ini adalah Nugroho Prasetyo yang mendeklarasikan diri sebagai bakal calon presiden Republik Indonesia tanggal 19 Juni 2018. Pemohon merupakan pendiri Ormas Front Pembela Rakyat dan Ormas Garda Indonesia. Akan tetapi, lanjutnya, dengan adanya aturan ambang batas pencalonan presiden telah membatasi hak konstitusional Pemohon untuk mencari parpol pengusung dalam lingkup parpol peserta Pemilu 2014 saja.
Padahal, lanjut Heriyanto, ada empat partai politik baru seperti Partai Beringin Karya (Berkarya), Partai Solidaritas Indonesia, Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda), dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo) yang berpeluang bagi Pemohon dekati guna mengusung Pemohon sebagai calon presiden.(Arif Satriantoro/LA)