Permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang teregistrasi dengan Nomor 54/PUU-XVI/2018 akhirnya ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). “Amar putusan mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” tegas Ketua MK Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan, Kamis (25/10).
Effendi Gazali dan Reza Indragiri Amriel melakukan uji materiil Pasal 222 UU Pemilu. Ia mendalilkan bahwa Pasal 222 UU Pemilu, andaikan pun dibentuk atas basis open legal policy, tidak akan membawa kerugian konstitusional kepada warga negara manapun jika dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi mulai berlaku pada Pemilihan Serentak Presiden dan DPR pada 2024. Karena sejak UU Pemilu ini dinyatakan berlaku 16 Agustus 2017, warga negara sudah mengetahui serta dianggap mengetahui bahwa ketika melakukan hak pilihnya untuk Pemilu DPR 2019, hal itu sekaligus akan dihitung sebagai bagian dari ambang batas untuk pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu 2024.
Namun tidak demikian, ungkap Effendi, jika Pasal 222 UU Pemilu ini berlaku pada Pemilu Serentak Presiden dan DPR 2019 ini, Pasal 222 ini akan membohongi warga negara dan memanipulasi hasil hak pilih warga negara dalam Pemilu DPR 2014. Karena pada masa sebelum hingga telah selesainya seluruh warga negara melakukan hak pilihnya untuk Pemilu DPR 2014, tidak pernah sekalipun diberikan informasi atau hak dan kewajiban oleh undang-undang atau peraturan manapun, terutama oleh undang-undang yang berlaku sebelumnya yakni UU No. 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden atau UU No. 8/2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Hal tersebut sekaligus akan dihitung sebagai bagian dari persyaratan ambang-batas untuk pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu 2019.
Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah berpendapat, ketentuan persentase tertentu perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik sebagai syarat untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden bukanlah suatu bentuk pembohongan dan manipulasi suara rakyat pemilih.
“Maka dengan sendirinya dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Pemilu bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila menjadi kehilangan landasan rasionalitasnya. Sebab, dalil para Pemohon perihal pertentangan Pasal 222 Undang-Undang Pemilu didasarkan pada argumentasi bahwa Pasal 222 Undang-Undang Pemilu merupakan pembohongan dan manipulasi suara pemilih,” kata Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna yang membacakan pendapat Mahkamah.
Menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memberikan argumentasi lebih lanjut perihal Pasal 222 UU Pemilu itu dikatakan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Padahal secara doktriner, pembahasan tentang nilai tidaklah cukup dengan uraian yang sumir sebab nilai adalah penentuan penghargaan atau pertimbangan tentang baik atau tidak baik terhadap sesuatu, kemudian dijadikan dasar, alasan, atau motivasi untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
“Nilai adalah hal ihwal yang bermakna bagi kehidupan manusia yang didambakannya serta berusaha mewujudkannya atau menghindarinya untuk menciptakan kepuasan dirinya. Nilai adalah juga suatu tuntutan yang dijadikan arah untuk menentukan sikap dan perilaku dalam kehidupan bersama manusia atau dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, mendalilkan sesuatu sebagai bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila haruslah disertai argumentasi yang lebih mendalam perihal hakikat nilai dimaksud. Dalam hal ini nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang secara analitis berkait pula dengan persoalan prinsip-prinsip dan konsep-konsep yang terkandung di dalamnya,” papar Palguna.
Berkenaan dengan petitum para Pemohon yang juga memohonkan agar Penjelasan Pasal 222 UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, ungkap Mahkamah, para Pemohon dalam posita permohonannya sama sekali tidak memberikan alasan mengapa Penjelasan Pasal 222 UU Pemilu a quo bertentangan dengan UUD 1945. Permohonan yang dalam petitum-nya memohonkan sesuatu tetapi dalam positanya tidak menguraikan alasan-alasan yang mendasari permohonan itu adalah permohonan yang tidak cermat sehingga mengakibatkan permohonan yang demikian menjadi kabur.
Namun dalam hal ini, lanjut Mahkamah, jika argumentasi para Pemohon perihal inkonstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu sebagaimana dijelaskan dalam posita permohonan a quo oleh para Pemohon sekaligus diberlakukan juga sebagai argumentasi dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Penjelasan Pasal 222 UU Pemilu, maka pertimbangan Mahkamah terhadap Pasal 222 UU Pemilu sebagaimana telah diuraikan di atas dan dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya juga berlaku sebagai pertimbangan terhadap Penjelasan Pasal 222 UU Pemilu.
Lagi pula, secara tekstual, yang tertulis di dalam Penjelasan Pasal 222 UU Pemilu tersebut tidaklah memuat norma baru yang bertentangan dengan materi muatan Pasal 222 UU Pemilu sehingga tidak terdapat alasan bagi Mahkamah untuk menyatakan Penjelasan Pasal 222 UU Pemilu a quo bertentangan dengan norma yang dijelaskannya sehingga dapat dijadikan dasar oleh Mahkamah untuk menyatakan Penjelasan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas Penjelasan Pasal 222 UU Pemilu adalah tidak beralasan menurut hukum. (Nano Tresna Arfana/LA)