Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 81/PUU-XVI/2018 pada Rabu (10/10). Para Pemohon adalah Muhammad Hafidz, Abda Khair Mufti dan Sutiah diwakili kuasa hukum, Eep Ependi.
Para Pemohon menguji konstitusionalitas frasa “mantan terpidana” pada Pasal 182 huruf g dan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu, yang justru apabila tidak dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, dapat mengandung unsur diskriminasi. Dalam pengertian bahwa norma a quo memperlakukan sama seluruh mantan terpidana dengan memberikan peluang untuk mencalonkan diri dalam jabatan publik atau jabatan politik, tanpa mempertimbangkan dampak yang dialami oleh perseorangan, kelompok masyarakat atau negara secara luas untuk beberapa tahun kemudian atas akibat perbuatan yang ia lakukan.
“Terkait kedudukan hukum para Pemohon bahwa Pemohon I dan II adalah perseorangan warga negara Indonesia sekaligus pembayar pajak. Sedangkan Pemohon III salah seorang masyarakat miskin yang selama ini menerima bantuan dari pemerintah berupa bantuan sosial beras sejahtera dan bantuan pangan nontunai,” jelas Eep kepada Majelis Hakim Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Dikatakan Eep, para Pemohon khawatir dengan makin banyaknya pejabat publik yang ditangkap karena melakukan korupsi keuangan negara bersumber pajak masyarakat akan berdampak pada masyarakat itu sendiri, termasuk para Pemohon. “Makin lambatnya pertumbuhan ekonomi dan investasi hingga lemahnya daya beli. Akibat semakin tingginya harga kebutuhan bahan pokok, bahkan tidak menutup kemungkinan akan berakibat pada berkurangnya bantuan subsidi dari negara yang selama ini Pemohon III dapatkan dalam bentuk beras dan pangan secara cuma-cuma,” ucap Eep.
Terancamnya hak para Pemohon mendapatkan hidup sejahtera lahir dan batin yang diberikan oleh negara akibat dampak korupsi secara luas, ungkap Eep, bukan karena hanya lemahnya penegakan hukum. Tetapi juga karena ketiadaan pembatasan dalam norma-norma hukum yang seharusnya diatur perundang-undangan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dalam pemenuhan tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Dijelaskan Eep, para Pemohon merasa memiliki kedudukan hukum mengajukan permohonan perkara berdasarkan lima alasan. Pertama, para Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia sesuai Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Kedua, para Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diatur Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yaitu hak untuk mendapatkan kebebasan, menyatakan sikap sesuai dengan hati nuraninya yang tidak ingin diwakili oleh pejabat publik atau jabatan politik mantan terpidana korupsi, serta untuk mendapatkan hidup sejahtera lahir dan batin sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
“Ketiga, hak konstitusional para Pemohon berpotensi dirugikan apabila caleg yang berasal dari mantan terpidana korupsi terpilih menjadi wakil rakyat, yang perbuatan korupsinya tersebut mengancam hak Para Pemohon untuk mendapatkan hidup sejahtera lahir dan batin. Kemudian keempat, potensi kerugian konstitusional tersebut akan terjadi jika undang-undang memberikan peluang bagi caleg mantan terpidana korupsi kembali menjadi pejabat publik. Kelima, adanya putusan Mahkamah Konstitusi diharapkan potensi kerugian konstitusional para Pemohon tidak akan terjadi karena Para Pemohon akan dihadapkan pada tawaran caleg yang bukan merupakan mantan terpidana korupsi,” papar Eep.
Nasihat Hakim
Terhadap dalil-dalil Pemohon, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyarankan para Pemohon agar memperbaiki lebih jauh soal putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terakhir. Berkali-kali telah disebutkan bahwa soal pembayar pajak itu tidak serta-merta memberikan kedudukan hukum, tetapi masih harus ada kaitannya dengan hal spesifik yang merupakan hak konstitusional warga negara yang menurut dugaan Pemohon itu telah dianggap dirugikan oleh berlakunya ketentuan dimohonkan dalam pengujian.
“Kemudian yang kedua dalam uraian legal standing, saya juga belum melihat apakah korelasi logis dan rasional atau koherensi antara hak konstitusional yang Saudara jadikan alas untuk mendapatkan legal standing dengan norma yang sering dimohonkan pengujian?” ujar Palguna mempertanyakan.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih fokus pada persoalan menyangkut Pasal 28E UUD 1945. Ia meminta agar Pemohon menguraikan dalil permohonan. “Anda merasa, adanya ketentuan ini paling tidak mengganggu kebebasan keyakinan beragama, pikiran, sikap, sesuai dengan hati nurani. Lalu Di mana hubungan kausalitas di antara keduanya?” ucap Enny. (Nano Tresna Arfana/LA)