Abdullah Bamatraf yang berprofesi sebagai wiraswasta mengajukan uji materiil Pasal 23 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria (UU Agraria), pada Kamis (4/10). Pemohon merasa dirugikan secara konstitusional akibat pemberlakuan pasal tersebut.
Pasal 23 UU Agraria menyatakan:
-
Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
-
Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
Kuasa Hukum Pemohon Agus Supriyanto menyatakan akibat keberlakuan pasal a quo, hak milik pribadi Pemohon dibatalkan keputusan Menteri Dalam Negeri SK. 17/DJA/1986. Hak tersebut berupa Sertifikat Hak Milik Pemohon.
“Pemohon secara objektif mengalami kerugian materiil dan finansial. Dimana tidak dapat menikmati dan menempati hak miliknya tersebut,” tegasnya.
Agus menegaskan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28 H ayat (4) Konstitusi yang mengatur tentang hak milik pribadi yang tidak boleh diambil sewenang-wenang oleh siapapun.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyebut permohonan terlalu sederhana sehingga tidak terlihat yang diinginkan Pemohon. Demikian pula kerugian konstitusional yang dialami Pemohon.
“Berikutnya sisi formalitas penulisan alamat tidak lengkap. Selain itu, dalam menguraikan legal standing, norma yang diuji perlu dicantumkan,” tegasnya dalam Perkara Nomor 78/PUU-XVI/2018 tersebut.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo menyatakan tidak harus satu atau dua pasal langsung minta dihapus. Ia melihat Pemohon mempermasalahkan pencabutan sertifikat oleh Kemendagri. “Bisa saja satu kata yang diajukan uji materiil. Pencabutan sertifikat oleh Kemendagri bisa saja dilakukan semisal untuk kepentingan publik,” jelasnya. (Arif/LA)