Martinus Nuroso yang merupakan Ketua Forum Perjuangan Pensiunan BNI melakukan pengujian aturan pembayaran uang pesangon sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) ke Mahkamah Konstitusi pada Rabu (5/9). Sidang pendahuluan yang digelar di Ruang Panel MK tersebut dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih.
Dalam permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 68/PUU-XVI/2018, Pemohon yang hadir didampingi beberapa anggotanya menyampaikan bahwa Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi, “Dalam hal pengusaha mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/pengusaha (sharing) maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon, yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha,” bertentangan dengan norma batang tubuhnya yang menyatakan “diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang preminya/iurannya dibayar oleh pengusaha”.
Kerugian yang dialami oleh Pemohon bermula sejak 2013, yakni adanya kekurangan bayar uang pesangon pekerja yang di-PHK karena memasuki usia pensiun. Sehubungan dengan hal tersebut, Pemohon telah melakukan pertemuan dengan berbagai pihak untuk memperjuangkan haknya termasuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Akan tetapi, Keputusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor 68/PHI.G/2014/PN.JK.PST tanggal 11 September 2014 menolak gugatan Pemohon dengan alasan aturan pesangon telah diatur dalam pasal a quo. Para hakim pada persidangan tersebut menilai rumusan dan hasil perhitungan yang ada sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kesimpulannya, tidak terbukti adanya penyimpangan yang berakibat terjadinya kurang bayar sehingga tidak ada kewajiban bagi Tergugat untuk membayarkan kekurangan pesangon sebagaimana yang dituntut oleh para Penggugat.
“Jadi, antara batang tubuh dan pasalnya tidak sinkron. Dan ini ditafsirkan sepihak pleh pihak Bank. Begitu kami pensiun 2010 dan pada 2012 baru dibayarkan. Rumus penghitungannya dipenggal. Sehingga nominal yang dibayarkan berkurang. Akibatnya, iuran pensiunan itu jadi beban pekerja,” jelas Martinus.
Untuk itu, Pemohon meminta agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan UU Ketenagakerjaan terutama Pasal 167 ayat (3) berikut penjelasannya menimbulkan ketidakjelasan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Kedudukan Hukum
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta agar Pemohon untuk memperbaiki kedudukan hukumnya. Saldi mempertanyakan kedudukan hukum Pemohon sebagai pihak yang mengatasnamakan komunitas atau perorangan. “Untuk itu, apabila mengatasnamakan komunitas, diharapkan berpedoman lagi pada AD/ART komunitas,” saran Saldi.
Selain itu, Saldi juga menyarankan agar Pemohon mengonstruksi bagian dari pasal a quo yang merugikan pihaknya serta mengkaji salah satu Putusan MK Nomor 46/PUU-XVI/2018 yang pernah mengajukan perkara yang sama. Mengingat yang didalilkan adalah praktik dari pelaksanaan norma. “Sehingga keluarlah dari pelaksanaanya, jelaskan konstitusionalnya agar tidak terjebak pada hal yang sama dengan Pemohon terdahulu,” jelas Saldi.
Harus Utuh
Sedangkan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta agar Pemohon mempelajari dengan saksama UU a quo yang tidak dapat dipahami sepenggal-penggal. Sehingga perlu bagi Pemohon untuk mendiskusikan dengan organisasi yang dibawahinya dalam mempelajari norma a quo secara utuh. Di samping itu, perlu pula Pemohon memahami hakikat dari contoh yang dijelaskan dalam pasal a quo. “Jadi, mohon dijelaskan, ada tidak hak konstitusional yang diakibatkan oleh rumusan norma ini,” jelas Enny.
Sementara, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyampaikan agar Pemohon menyempurnakan permohonan dengan mempelajari berbagai format pengajuan pengujian undang-undang yang ada pada laman MK. Hal ini perlu mengingat perkara yang diajukan Pemohon serupa dengan permohonan yang pernah diputus MK beberapa waktu lalu. “Setidaknya itu memperkaya permohonan Bapak nantinya sehingga dasar pengujiannya bisa dibuat tidak sama dengan yang terdahulu,” jelas Wahiduddin.
Pada akhir persidangan, Wahiduddin mengingatkan agar Pemohon memperbaiki permohonan dan menyerahkan selambat-lambatnya pada 18 September 2018 pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)