Pemohon uji materiil Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) menyampaikan sejumlah perbaikan permohonan sesuai saran Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang sebelumnya. Wahyu Nugroho selaku Pemohon menjelaskan salah satu perbaikan yang dilakukan mengenai kedudukan hukum.
“Legal standing kami menggunakan perorangan. Jadi, tidak menggunakan kelembagaan. Tetapi untuk masalah alamat domisili, kami tetap mencantumkan LKBH yang beralamat di Jalan Prof. Soepomo Nomor 84 Tebet Jakarta Selatan,” jelas Wahyu kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam sidang lanjutan UU Advokat, pada Selasa (24/7).
Perbaikan berikutnya yang dilakukan Pemohon adalah membuat daftar perbedaan alasan dibandingkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013. Alasan permohonan adalah hak imunitas advokat terdapat pembatasan di dalam sidang pengadilan, setelah putusan berbunyi, “di dalam dan di luar sidang pengadilan.” Sementara dalam perkara saat ini, hak imunitas di dalam dan luar sidang pengadilan menimbulkan ancaman terhadap perlindungan hukum dan jaminan kepastian.
Wahyu melanjutkan, dalam Putusan Perkara Nomor 26/PUU-XI/2013, tercantum “rasa tidak aman dan ketakutan bagi Pemohon untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu demi membela kepentingan klien di luar sidang pengadilan.” Selanjutnya pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 dengan penambahan “di luar” menjadi luas pemaknaannya, hak imunitas di satu sisi dilindungi baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sementara di sisi lain, memiliki ketidakpastian hukum menjadi terancam perlindungan hukumnya tanpa mendapatkan penilaian iktikad baik oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat yang menjadi urgent.
Sedangkan untuk perkara sekarang ini, ungkap Wahyu, potensi Pemohon dalam penanganan perkara perdata, klien justru dinilai sebagai tindakan yang merugikan secara materiil. Padahal klien belum tentu memahami unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum itu sendiri dan adanya tolok ukur iktikad baik yang semestinya perlu diputus terlebih dahulu melalui mekanisme sidang etik oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
Pemohon juga menambahkan kasus faktual yang dialami rekan Pemohon yang juga berprofesi advokat di Manado, dalam hal ini Sachlan Kurusi dan Sadiq Ghani yang telah menjadi korban penetapan tersangka oleh jaksa dalam kasus penjualan objek tanah. Setelah itu, menjadi terdakwa dan pada akhirnya dipidana berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Manado Hal tersebut membuat kekhawatiran, ketakutan, dan membuat tidak nyaman bagi Pemohon yang berprofesi sebagai advokat dalam melakukan tugas dalam rangka kepentingan pembelaan klien, sehingga menjadi tidak maksimal dalam pembelaan kepentingan klien. Hanya dengan menetapkan sebagai tersangka yang justru dilakukan oleh jaksa dengan tanpa mekanisme penilaian frasa iktikad baik oleh Dewan Kehormatan Organisasi.
“Berdasarkan peristiwa tersebut, maka siapa pun itu, baik klien atau mantan klien atau aparat negara dapat sewaktu-waktu melaporkan atas dugaan tindak pidana ke kepolisian tanpa ada mekanisme Dewan Kehormatan Organisasi Advokat dalam bentuk sidang kode etik. Selain itu juga, tidak mencerminkan sebagai negara hukum sebagaimana disebutkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dimana terlanggarnya mekanisme dalam proses hukum yang terlebih dahulu semestinya dilakukan oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat untuk mendapatkan penilaian dan keputusan, termasuk perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia,” papar Wahyu mengenai perbaikan permohonan Perkara Nomor 56/PUU-XVI/2018.
Sebagaimana diketahui, pengujian Pasal 16 UU Advokat ini diajukan oleh Wahyu Nugroho, Deri Hafizh, dan Rudi Heryandi Nasution. Para pemohon yang berprofesi sebagai advokat dan konsultan hukum pada Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Universitas Sahid Jakarta, menguraikan dalam permohonannya ketentuan Pasal a quo pernah diuji ke MK tahun 2013 dengan No. Perkara 26/PUU-XI/2013. Mahkamah mengabulkan permohonan tersebut, sehingga ketentuan a quo berubah dengan ditambahkanya frasa “di luar” dengan bunyi, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.”
Pemohon menilai, dengan ditambahkanya frasa tersebut, maka hak imunitas advokat mengalami perluasan makna. Di satu sisi, advokat dilindungi baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan, tapi di sisi lain, Pasal a quo juga memiliki ketidakpastian hukum, menjadi terancam perlindungan hukumnya tanpa mendapatkan penilaian “iktikad baik” oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. Dengan demikian, integritas dan pertanggungjawaban moral para Pemohon dipertaruhkan apabila frasa “iktikad baik” tidak dilakukan penilaian dengan parameter-parameter yang obyektif oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. (Nano Tresna Arfana/LA)