Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (9/7). Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 54/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Effendi Gazali dan Reza Indragiri Amriel.
Dalam sidang perdana tersebut, Effendi mendalilkan kerugian konstitusional dengan berlakunya Pasal 222 UU Pemilu. Akan tetapi, ia menegaskan ada perbedaan dengan permohonan-permohonan sebelumnya yang telah diputus MK. “Posisi kami berbeda dengan semua Pemohon sebelumnya terhadap Pasal 222 Undang-Undang Pemilu ini. Posisi kami menerima Pasal 222 adalah open legal policy sebagaimana seluruh keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Pasal 222 ini sebelumnya. Jadi memang Pasal 222 itu merupakan open legal policy dan merupakan hak dari pembentuk undang-undang, yaitu DPR bersama-sama dengan pemerintah,” papar Gazali.
Menurut Gazali, Pasal 222 UU Pemilu, andaikan pun dibentuk atas basis open legal policy, tidak akan membawa kerugian konstitusional kepada warga negara manapun, jika dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi mulai berlaku pada Pemilihan Serentak Presiden dan DPR pada tahun 2024 atau lima tahun yang akan datang. Hal ini karena sejak UU Pemilu ini dinyatakan berlaku 16 Agustus 2017, warga negara sudah mengetahui serta dianggap mengetahui bahwa ketika melakukan Hak Pilihnya untuk Pemilu DPR tahun 2019. Hal itu, lanjutnya, sekaligus akan dihitung sebagai bagian dari ambang-batas untuk pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (Presidential Threshold) oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2024.
“Namun, posisi kami ingin menyampaikan bahwa karena kami semua sebagai warga negara yang sudah melakukan hak pilih kami pada Pemilu DPR 2014, tidak pernah diberitahu sama sekali, baik oleh undang-undang atau peraturan apapun. Tidak pernah diberitahu sama sekali oleh DPR, pemerintah maupun KPU yang memiliki tugas untuk itu bahwa kalau kami melakukan hak pilih kami pada Pemilihan DPR Tahun 2014, hal itu berarti sekaligus menjadi presidential threshold pada Pemilu 2019,” dalil Effendi.
Effendi mengutip pada Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa membohongi artinya, ‘tidak mengatakan yang sebenarnya’. Memanipulasi hasil hak suara pemilu DPR, itu berarti menggelapkan atau menggunakan bukan untuk tujuan sebenarnya di bawah sugesti atau ada upaya untuk membuat itu menjadi sesuatu yang diterima dan bertentangan dengan alam bawah sadar kita. Kata kuncinya sugesti.
“Jadi kami mengajukan permohonan dan kami merasa bahwa persidangan ini juga bisa dengan izin dan pertimbangan Bapak-Bapak Hakim dan Ibu Hakim Konstitusi. Kami tidak mempersoalkan apa yang sudah diputuskan oleh DPR dan pemerintah. Jadi kita tidak akan berdebat dengan DPR dan pemerintah soal Pasal 222 itu, sudah kita terima sebagai open legal policy,” ucap Effendi.
Lebih lanjut, ungkap Effendi, para Pemohon memohon Mahkamah Konstitusi tidak membiarkan terjadinya Pemilihan Umum Serentak 2019 bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang merupakan bagian utuh dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Kenapa? Karena kalau itu dibiarkan terlaksana pada Pemilu Serentak 2019 ini, berarti sudah membiarkan terjadinya pembohongan kepada warga negara. Setidaknya kami yang sudah melakukan hak pilih kami pada Pemilu DPR 2014 dan sekaligus Mahkamah Konstitusi membiarkan terjadinya manipulasi atau penggelapan hasil hak suara kami pada Pemilu DPR 2014 untuk bukan tujuan-tujuan yang sebagaimana sudah disampaikan kepada warga negara,” imbuh Effendi.
Kalau kedua hal itu dibiarkan, ujar Effendi, Mahkamah Konstitusi seperti membiarkan terjadinya Pemilu Serentak 2019 yang bertentangan atau melanggar nilai-nilai Pancasila yang ada sepenuhnya dalam Undang-Undang Dasar 1945. Lebih khusus lagi dinyatakan oleh putusan MK secara substantif ada dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk itulah, Pemohon meminta agar Pasal 222 UU Pemilu dibatalkan dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Kedudukan Hukum
Menanggapi dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta Pemohon agar menguraikan secara rinci mengenai kerugian konstitusional Pemohon. “Memang tekanannya pada norma pasal ini adalah bohong atau pembohongan, tapi perlu diuraikan kerugian hak konstitusional dari Pemohon ini. Karena hak konstitusional Pemohon dalam hak pilih itu dalam konteks seperti apa hubungannya dengan norma threshold itu? Karena hak pilih itu hak yang bersifat individual, sedangkan yang threshold itu adalah kebijakan dalam kaitannya dengan partai politik,” ucap Wahiduddin.
Sementara itu Hakim Konstitusi Saldi Isra menyoroti kedudukan hukum Reza Indargiri Amriel sebagai mahasiswa. “Tadi Pemohon menyebut mewakili mahasiswa. Kalau mewakili mahasiswa, itu menjelaskan legal standing-nya berbeda dengan mewakili diri sendiri sebagai warga negara. Nah, harus dipilih ya. Jadi kalau tetap mau menyebut mewakili mahasiswa, harus ada argumentasi tambahan yang menjelaskan kira-kira apa yang menjadi hak bagi Saudara bisa mewakili mahasiswa? Apalagi di keterangan dirinya menyebut Ketua Kabinet KM ITB,” tegas Saldi. (Nano Tresna Arfana/LA)