Mahkamah Konstitusi mengabulkan untuk seluruhnya permohonan terkait sanksi pidana terhadap jaksa penuntut umum yang melakukan maladministrasi sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Putusan Nomor 68/PUU-XV/2017 ini dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman pada Rabu (22/5) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon. Menyatakan Pasal 99 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Anwar membacakan permohonan Noor Rachmat, dkk., yang berprofesi sebagai jaksa tersebut.
Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 99 UU SPPA. Pasal 99 UU SPPA menyatakan, “Penuntut Umum yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun”. Menurut Pemohon, Pasal 99 UU SPPA berpotensi memidana para penuntut umum yang melakukan maladministrasi dalam menjalankan wewenang dalam perkara pidana anak. Pasal tersebut dinilai mengintervensi independensi jaksa, padahal seharusnya kesalahan yang bersifat adminstratif dari seorang jaksa dipertanggungjawabkan kepada atasan dalam struktur dan jenjang pengawasan yang sudah disediakan oleh peraturan perundang-undangan seperti yang diatur dalam UU Kejaksaan. Selain itu, Pemohon menganggap pemidanaan atas pelanggaran hal yang bersifat administratif seharusnya tidak dapat diawasi dan dikoreksi oleh kekuasaan yudikatif (dalam hal ini adalah peradilan pidana). Pengawasan koreksi oleh sebuah peradilan pidana atas pelanggaran tersebut, dapat dikatakan sebagai intervensi kekuasaan lainnya. Untuk itulah, Pemohon meminta agar MK membatalkan keberlakuan Pasal 99 UU SPPA.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, terhadap ancaman pidana tersebut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012, bertanggal 28 Maret 2013, Mahkamah telah memberikan pertimbangan. Pertimbangan tersebut, yakni Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA yang menentukan ancaman pidana kepada pejabat khusus dalam penyelenggaraan SPPA, yaitu hakim, pejabat pengadilan, penyidik, dan penuntut umum, menurut Mahkamah, bukan saja tidak merumuskan ketentuan-ketentuan konstitusional mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan independensi pejabat khusus yang terkait (hakim, penuntut umum, dan penyidik anak), yakni memberikan jaminan hukum bagi penyelenggaraan peradilan yang merdeka, tetapi lebih dari itu juga telah melakukan kriminalisasi terhadap pelanggaran administratif dalam penyelenggaraan SPPA yang tentu memberikan dampak negatif terhadap pejabat-pejabat khusus yang menyelenggarakan SPPA. Dampak negatif tersebut adalah dampak psikologis yang tidak perlu, yakni berupa ketakutan dan kekhawatiran dalam penyelenggaraan tugas dalam mengadili suatu perkara.
“Hal demikian menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berarti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan kontra produktif dengan maksud untuk menyelenggarakan SPPA dengan diversinya secara efektif dan efisien dalam rangka keadilan restoratif,” ujar Maria.
Kemudian, Maria menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman tidak boleh dipengaruhi oleh kedua cabang kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Dari sini pula, lanjutnya, diturunkan prinsip judicial supremacy yang mengatur kedua cabang kekuasaan negara tersebut harus tunduk kepada putusan pengadilan. Penegasan tersebut penting dikarenakan apabila dikaitkan dengan esensi dari permohonan Pemohon yang mendalilkan ketika sedang menjalankan fungsi penuntutan dalam perkara tindak pidana yang melibatkan anak dan dilakukan proses peradilan melalui SPPA meminta agar prinsip independensinya dipersamakan dengan hakim. Oleh karena itu, lanjutnya, sepanjang terbatas alasan tersebut Mahkamah dapat memahami dan mempertimbangkannya.
Maria menambahkan apabila dicermati substansi yang dipermasalahkan Pemohon terkait tugas administratif yang memang secara natural, menjadi tugas jaksa sebagai penuntut umum di dalam melaksanakan penetapan hakim. “Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban jaksa atau penuntut umum lah yang memang seharusnya melaksanakan penetapan hakim tersebut termasuk di dalamnya melaksanakan keputusannya sendiri di dalam tindakan memasukkan atau mengeluarkan tahanan yang dalam perkara a quo adalah tindakan penahanan terhadap anak,” urainya.
Tidak Boleh Langgar Batas Waktu
Maria pun melanjutkan sekalipun Mahkamah telah menyatakan pasal yang dimohonkan Pemohon inkonstitusional, hal itu tidak berarti memperbolehkan pejabat yang melakukan tugas untuk mengeluarkan tahanan anak dari RUTAN melanggar batas waktu yang telah ditentukan. Sebab, lanjutnya, hal demikian sama halnya dengan sengaja merampas kemerdekaan seseorang.
Dengan kata lain, jelas Maria, kesengajaan tidak mengeluarkan tahanan anak pada waktunya tidak menghilangkan hak setiap orang yang dirugikan atas adanya tindakan yang disengaja oleh setiap pejabat termasuk di dalamnya penegak hukum atas adanya perampasan kemerdekaan untuk dapat mempersoalkan secara hukum tindakan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 333 ayat (1) KUHP yang menyatakan, “Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun”. “Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum,” tandasnya. (Lulu Anjarsari)