Permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) tidak dapat diterima. Demikian putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap permohonan Perkara Nomor 33/PUU-XVI/2018 yang diajukan oleh Martinus P.H Butar Butar dan Risof Mario.
“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan, Rabu (23/5) siang.
Dalam permohonannya, Pemohon menguji Pasal 169, Pasal 227, dan Pasal 229 UU Pemilu yang dianggap merugikan hak-hak konstitusional Pemohon karena tidak menyertakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam penentuan Calon Presiden (Capres) dan Wakil Presiden (Wapres). Dalam permohonannya para Pemohon mendalilkan bila sejarah telah memberikan hak konstitusional dari seluruh rakyat, yaitu orang bangsa Indonesia asli dan diakui dalam UUD 1945, melalui utusan daerah yang kemudian bermetamorfosa menjadi DPD. UU Pemilu dianggap telah merugikan hak konstitusional Pemohon. Menurut Pemohon, persyaratan calon presiden dan wakil presiden telah melanggar dan tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945. Lebih lanjut menurut Pemohon, UUD 1945 merupakan buah perjuangan panjang, perlawanan, dan perang dari masyarakat Indonesia yang oleh UUD 1945 patut diyakini sebagai masyarakat orang Indonesia asli. Pelanggaran demikian, menurut Pemohon, merupakan pengenyampingan hak orang-orang bangsa Indonesia asli dalam menentukan pemimpin bangsa, karena tidak mengakomodasi kedudukan konstitusional orang-orang bangsa Indonesia asli sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UUD 1945. Dalam Pasal 26 UUD 1945 ini, diakui bahwa sejarah berdirinya negara Indonesia oleh orang-orang Indonesia asli.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Mahkamah menilai para Pemohon bukan merupakan pihak yang dirugikan dengan berlakunya Pasal 227 dan Pasal 229 UU Pemilu. Norma Pasal 227 merupakan persyaratan yang harus dipenuhi bakal pasangan calon, yaitu bakal pasangan presiden dan wakil presiden. Sedangkan Pasal 229 terkait dengan kelengkapan administrasi yang harus diserahkan oleh parpol dan/atau gabungan parpol yang akan mendaftarkan bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden ke KPU.
Saldi melanjutkan, Mahkamah berpendapat melihat substansi norma dalam kedua pasal a quo menjadi terang bahwa para Pemohon tidak mampu membuktikan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 dan hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap merugikan oleh berlakunya norma dalam Pasal 227 dan Pasal 229 UU Pemilu sebagaimana dipersyaratkan dalam menjelaskan kedudukan hukum.
“Dengan demikian tidak ada keraguan sama sekali bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa pemberlakuan norma dalam kedua pasal tersebut sama sekali tidak merugikan hak konstitusional para Pemohon,” ungkap Saldi.
Terkait dalil Pemohon yang menghendaki ketentuan Pasal 227 dan Pasal 229 UU Pemilu dimaknai agar masing-masing pasangan calon telah mendapatkan restu dari 50% + 1 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) agar pasangan calon presiden dan wakil presiden mampu menjaga jati diri Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Mahkamah menilai pemaknaan demikian kian menguatkan bukti para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan. Selain sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945 bahwa DPD tidak memiliki wewenang apapun dalam proses pengajuan bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden, Pemohon dalam perkara a quo bukan anggota DPD, melainkan perseorangan warga negara.
Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon bukan subjek hukum pemilik/pemegang hak konstitusional yang diatur dalam Pasal 22D UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah menilai para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. (Nano Tresna Arfana/LA)