Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (3/5). Agenda sidang adalah penyampaian keterangan Ahli Pemohon Perkara Nomor 16, 17, 18/PUU-XVI/2018.
Ahli Pemohon Perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018, Margarito Kamis menjelaskan pemanggilan paksa sebagaimana tercantum dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 bersifat imperatif. Menurutnya, jika fungsi ini diterapkan, maka akan DPR berubah fungsi menjadi sepenuhnya lembaga penegak hukum konvensional yang menegakkan hukum untuk kasus-kasus pidana. Hal ini lanjut Margarito, tidak sesuai dengan Konstitusi. Selain itu, kewenangan tersebut tidak sesuai dengan fungsi DPR sesungguhnya sebagai wakil rakyat.
“Menurut saya, pemanggilan paksa bertentangan dengan hakikat kedaulatan DPR dan DPR sebagai representasi rakyat, tidak tersedia nalar menurut saya secara konstitusional untuk membenarkan pemanggilan paksa terhadap semua orang untuk segala jenis perwujudan fungsi DPR,” papar Margarito.
MKD, Alat Kelengkapan DPR
Sementara itu, Ahli Pemohon Perkara Nompr 17/PUU-XVI/2018, Bivitri Susanti menjelaskan bahwa DPR seharusnya fokus pada fungsi-fungsi konstitusional. Ia menilai MKD merupakan alat-alat kelengkapan dewan yang didesain untuk melaksanakan fungsinya menjaga kehormatan dewan dengan memastikan pelaksanaan nilai-nilai etik anggota dewan. MKD, lanjutnya, seharusnya tidak bergerak keluar menyasar publik karena akan menjauhkan DPR sebagai representasi rakyat.
“Ia (MKD) adalah lembaga yang bekerja ke dalam kepada anggota-anggotanya sendiri. Adanya intensi dari DPR untuk membuat sebuah prosedur hukum untuk memeriksa tindakan merendahkan DPR nantinya, bukan akan menjaga martabat DPR sebagai wakil rakyat, tapi justru akan membangun tembok penghalang yang semakin tinggi antara yang mewakili dan yang diwakili,” jelas Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera tersebut.
Mengaburkan Fungsi DPR
Terkait revisi UU MD3, Bivitri menyebut UU MD3 seharusnya bisa menggambarkan fungsi legislatif, pengawasan, dan anggaran dari DPR. Akan tetapi, lanjutnya, mengaburkan kedudukan dan fungsi konstitusional DPR.
“UU MD3 justru perubahan Undang-Undang MD3 ini bagi saya bukan sekadar kebijakan hukum terbuka. Perubahan Undang-Undang MD3 ini mengaburkan kedudukan dan fungsi konstitusional DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat dengan menciptakan tembok penghalang yang semakin tinggi. Pandangan DPR yang mengatakan bahwa tidak ada masalah konstitusional dengan undang-undang ini, dalam pandangan saya, lahir dari pemahaman yang sempit dan cenderung tekstual belaka,” paparnya.
Sebelumnya, para Pemohon Perkara No. 16, 17, 18, 21, 25, 26, 28/PUU-XVI/2018 mengajukan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) ke MK. Para Pemohon menguji Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf k, serta Pasal 245 ayat (1) UU MD3. Aturan yang dipersoalkan Pemohon, yakni mengenai pemanggilan paksa oleh DPR terhadap warga masyarakat dan badan hukum yang berbasis organisasi kemasyarakatan.
Para Pemohon mendalilkan pasal-pasal tersebut merupakan bentuk upaya menghadap-hadapkan institusi DPR dengan warga masyarakat selaku pemegang kedaulatan. Hal ini menjadi kontradiktif dengan desain konstitusional DPR yang dihadirkan sebagai instrumen untuk mengontrol perilaku kekuasaan bukan perilaku rakyat. Selain itu, para Pemohon mendalilkan bahwa rumusan dalam Pasal 122 huruf l Undang-Undang MD3 sepanjang frasa tindakan hukum telah berlebihan dan sesungguhnya tidak saja hanya bersifat penegasan serta memperlihatkan adanya standar ganda dari hak-hak setiap orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya.
Menurut para Pemohon, Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 Ayat (4) Huruf a dan Huruf c UU MD3 dinilai membatasi hak warga negara untuk mengajukan atau mengeluarkan pikiran, pendapat serta aspirasinya kepada lembaga legislatif (MPR, DPR, DPRD, DPD). Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip kebebasan mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh Pasal 28, Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Dengan pembatasan tersebut maka warga negara telah kehilangan kesempatan untuk bebas mengeluarkan pikiran atau pendapat, untuk memperjuangkan haknya membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. (ARS/LA)