Tuntutan reformasi 1998 seperti penghapusan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), pemberantasan Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) dan sebagainya berujung pada Perubahan UUD 1945. Hal ini disampaikan oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, dan Pengelolaan Perpustakaan MK, Wiryanto saat menerima para peserta Diklat Perancangan Mekanisme PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) Kemenkumham di ruang delegasi lantai 4 Gedung MK, Kamis (3/5) siang.
“Kalau kita melihat latar belakang perubahan UUD 1945, salah satunya karena kekuasaan MPR sebagai lembaga tertinggi. Juga saat itu Presiden memiliki kekuasaan yang luar biasa. Oleh karena itu legislatif seolah-olah hanya sebagai stempel pengesahan saja,” ungkap Wiryanto.
Penyebab terjadinya perubahan UUD 1945, sambung Wiryanto, juga karena pasal-pasal dalam UUD 1945 yang terlalu luwes. Sebelum terjadi amendemen UUD 1945, memang ada penjelasan pasal-pasal UUD 1945. Tetapi penjelasan UUD 1945 itu sendiri mengatur secara normatif dan bukan hanya menjelaskan dalam batang tubuh saja.
“Oleh sebab itu hal ini sudah perlu dilakukan perubahan. Kalau kita bicara pasal-pasal yang terlalu luwes akan menggelitik teman-teman sebagai perancang undang-undang. Jangan sampai saat membuat norma dalam undang-undang banyak tafsirnya atau multitafsir. Harus yang pasti, ada kepastian hukum,” urai Wiryanto.
Kemudian, Wiryanto mencontohkan kata ‘dapat’ dalam undang-undang sudah seringkali diuji di MK karena menimbulkan multitafsir. “Karena itulah teman-teman yang notabenenya sedang dididik menjadi perancang undang harus memiliki kebutuhan yang sangat luar biasa terhadap kalimat-kalimat atau kata-kata yang harus ada dalam norma itu sendiri,” jelas Wiryanto.
Wiryanto juga menerangkan anggapan orang bahwa Konstitusi masih disebut sebagai UUD 1945 meski telah terjadi amendemen UUD 1945. “Karena kesepakatan awal bahwa perubahan UUD 1945 dilakukan secara adendum. Bahwa adendum adalah satu dokumen yang mengubah isi dari dokumen awal tetapi tidak mengubah nama dokumen yang asli. Intinya begitu,” imbuh Wiryanto.
Dengan demikian, kata Wiryanto, kalau adendum digunakan untuk mengubah UUD 1945, maka Konstitusi tetap disebut sebagai UUD 1945 tetapi normanya sudah banyak berubah.
Lebih lanjut Wiryanto mengungkapkan, Perubahan UUD 1945 juga membawa dampak bagi struktur ketatanegaraan Indonesia, khususnya mengenai lembaga-lembaga tinggi negara. Hubungan antara lembaga negara menjadi sederajat, tidak ada yang lebih tinggi dari yang lain. MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara.
Selain itu, Perubahan UUD 1945 memunculkan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) yang akhirnya terbentuk pada 13 Agustus 2003. MKRI mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil Pemilu, memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut UUD. Kewenangan MKRI ini sesuai dengan Pasal 24C UUD 1945. (Nano Tresna Arfana/LA)