Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima uji materiil terkait parliamentary threshold (PT) yang diajukan Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda). Demikian Putusan Nomor 20/PUU-XVI/2018 dibacakan Ketua MK Anwar Usman didampingi oleh hakim konstitusi lainnya pada Kamis (26/4).
Partai yang dipimpin oleh Ahmad Ridha Sabana tersebut merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 414 Ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Pasal 414 Ayat 1 UU Pemilu menyatakan, “Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit empat persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.” Pemohon menilai dengan berlakunya Pasal 414 Ayat 1 UU Pemilu dapat mengakibatkan hilangnya hak untuk mendapatkan kursi di tingkatan DPR RI. Terutama, jika perolehan suara Pemohon di Daerah Pemilihan tertentu memenuhi syarat untuk mendapatkan kursi DPR RI, namun perolehan suara Pemohon tingkat DPR RI secara keseluruhan tidak memenuhi ambang batas parlemen. Pemohon pun menjelaskan berdasarkan ketentuan Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945, setiap partai politik peserta Pemilihan Umum 2019 termasuk Pemohon memiliki hak untuk berkontestasi memperebutkan kursi DPR RI. Namun hak untuk berkontestasi akan hilang jika perolehan suara Pemohon secara nasional tidak memenuhi ambang batas perolehan suara. Hal demikian dapat terjadi meski perolehan suara Pemohon di daerah pemilihan tertentu memenuhi syarat untuk mendapatkan kursi DPR RI.
Terhadap dalil permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang membacakan pertimbangan hukum menjelaskan Mahkamah telah memutus empat perkara terkait pengujian ambang batas parlemen (parliamentary threshold), yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009 bertanggal 13 Februari 2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 bertanggal 29 Agustus 2012, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-X/2012 bertanggal 29 Agustus 2012, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XI/2013 bertanggal 7 Mei 2014. Arief menjelaskan meski undang-undang yang diuji dalam permohonan a quo berbeda, tetapi norma yang diuji secara substansi tidak berbeda dengan norma yang telah dinilai oleh Mahkamah melalui putusan-putusan sebelumnya, khususnya putusan yang berkenaan dengan parliamentary threshold untuk keanggotaan DPR. Mahkamah telah menegaskan pendiriannya bahwa hal tersebut berkaitan dengan politik penyederhanaan kepartaian dengan menyatakan open legal policy sepanjang tidak bertentangan dengan kedaulatan rakyat, hak politik, dan rasionalitas.
Arief melanjutkan demikian juga dengan dasar pengujian yang dipergunakan dalam permohonan a quo yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, telah dijadikan dasar pengujian dalam permohonan-permohonan sebelum permohonan a quo yang telah diputus melalui putusan-putusan sebagaimana diuraikan di atas. Selain itu, alasan-alasan permohonan a quo juga tidak didasarkan pada alasan-alasan konstitusionalitas yang berbeda dengan permohonan-permohonan sebelum permohonan a quo dan telah pula dipertimbangkan dalam putusan-putusan sebagaimana diuraikan di atas. “Dengan demikian berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, permohonan Pemohon adalah ne bis in idem,” tandas Arief. (Lulu Anjarsari)