Jika batas waktu konsesi jalan tol diatur secara rigid dalam undang-undang, maka hal ini justru akan menaikkan tarif jalan tol dan memberatkan masyarakat. Kenaikan tarif tersebut diakibatkan jumlah investasi yang harus dikembalikan PT Jasa Marga dalam pembangunan jalan tol dalam jangka waktu yang ditentukan UU. Hal ini disampaikan Direktur Utama PT Jasa Marga Desi Arriyani dalam sidang uji materiil masa konsesi jalan tol seperti yang tercantum dalam Pasal 50 ayat (6) Undang-Undang (UU) Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (UU Jalan) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (24/4).
“Apabila masa konsesi jalan tol diatur secara rigid dalam undang-undang, misalnya selama 20 tahun sebagaimana dimintakan oleh Pemohon, maka untuk dapat mengembalikan investasi diperlukan tarif tol yang lebih tinggi yang berpotensi melampaui kemampuan bayar pengguna jalan tol seperti yang diamanatkan dalam undang-undang,” tutur Desi menanggapi permohonan Nomor 15/PUU-XVI/2018.
Dalam keterangannya sebagai Pihak Terkait, Desi menyebut agar tarif tol dapat dipertahankan sesuai tarif tol saat ini, Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) yang merupakan anak perusahaan PT Jasa Marga, harus menanggung kerugian yang signifikan. Ia mencontohkan untuk ruas Jalan Tol Gempol-Pasuruan yang bertarif Rp1.000,00 per kilometer dengan masa konsesi 45 tahun. “Dalam hal masa konsesi diberikan selama 20 tahun, maka tarif tol perlu dinaikkan menjadi Rp1.880,00 per kilometer. Atau jika tarif tolnya tetap, maka badan usaha jalan tol akan harus menanggung kerugian sebesar Rp3,36 triliun,” urainya.
Selain itu, Desi menyebut PT Jasa Marga sebagai pengembang dan operator jalan tol diberi masa konsesi seperti yang tertuang dalam Pasal 66 ayat (2) UU Jalan setelah perhitungan investasi atas seluruh ruas jalan tol yang diusahakannya dilakukan audit. Sebagai pelaksanaan ketentuan tersebut, pada tanggal 8 Juni 2006 diterbitkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 242/KPTS/M/2006 tentang Penetapan Pemberian Konsesi terhadap Ruas Jalan Tol yang Diusahakan oleh PT Jasa Marga yang mengatur bahwa masa konsesi untuk 13 ruas jalan tol sebagaimana disebutkan di dalam KepMenPU tersebut ditetapkan selama 40 tahun terhitung sejak tanggal 1 Januari 2005.
“Perhitungan masa konsesi tersebut didasarkan atas hasil evaluasi Kementerian Pekerjaan Umum atas proposal yang diajukan oleh Jasa Marga berdasarkan hasil audit nilai investasi, sumber dana, pendapatan, dan biaya operasional Jasa Marga dari tahun 1978 sampai tahun 2004 oleh Kantor Akuntan Publik Hadori dan Rekan untuk ke-13 ruas,” jelas Desi di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Menurut Desi, PT Jasa Marga memperhitungkan segalanya secara cermat dan dalam prinsip kehati-hatian guna memperoleh masa konsesi 40 tahun. Faktor yang dihitung PT Jasa Marga, di antaranya biaya investasi yang dikeluarkan oleh Jasa Marga, termasuk biaya pengadaan tanah, lalu lintas atau lalu lintas jalan tol yang pada saat operasi awal jalan tol yang masih sangat rendah. Selain itu, lanjutnya, penyesuaian tarif tol yang tidak dilakukan secara berkala, bahkan dari tahun 1992 sampai dengan tahun 2005 tidak terdapat kenaikan tarif tol sama sekali. “Yang keempat, tingkat kelayakan finansial suatu proyek atau internal rate of return. Dan yang terakhir adalah tingkat kemampuan bayar dari pengguna jalan tol,” paparnya.
Dipengaruhi Beberapa Faktor
Pihak Terkait lainnya, Wiwiek Dianawati Santoso selaku Presiden Direktur PT Marga Harjaya Infrastruktur menerangkan bahwa dalam berinvestasi di jalan tol, Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) menanggung risiko, antara lain keterlambatan pembebasan lahan, kondisi karakter tanah, perubahan desain, baik karena faktor eksternal maupun dampak sosial yang timbul selama masa pembangunan. Di samping itu, selama masa konsesi, ada risiko volume lalu lintas yang tidak tercapai, tingkat inflasi yang tidak sesuai asumsi, perubahan tingkat suku bunga, dan perubahan kebijakan pemerintah.
“Mengingat karakteristik tiap-tiap jalan tol yang berbeda-beda, penetapan masa konsesi jalan tol tidak dapat disamakan bagi seluruh konsesi jalan tol. Oleh karena itu, sudah tepat bila penetapan masa konsesi dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemerintah dan BUJT masing-masing melalui mekanisme tender yang transparan dan akuntabel. Pembatasan masa konsesi dengan waktu tertentu yang langsung dituangkan dalam suatu undang-undang dapat mengakibatkan tidak layaknya investasi dalam pengusahaan jalan tol dan atau besaran tarif tol akan melebihi kemampuan bayar pengguna jalan tol,” urai Wiwiek.
Kebijakan Terbuka
Sementara ahli Pemerintah Bayu Dwi Anggono menjelaskan bahwa ketentuan Pasal 50 ayat (6) UU Jalan merupakan kebijakan pembuat undang-undang yang bersifat terbuka atau open legal policy. “Kebijakan pembentuk undang-undang dikatakan bersifat terbuka ketika Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai norma hukum yang lebih tinggi tidak mengatur atau tidak memberikan batasan yang jelas mengenai apa dan bagaimana materi tertentu harus diatur oleh undang-undang. Secara berkebalikan, kebijakan pembentuk undang-undang dikatakan bersifat tertutup manakala Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah memberikan batasan yang jelas mengenai apa dan bagaimana suatu materi harus diatur dalam undang-undang,” papar Bayu selaku Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi FH Universitas Jember.
Diungkapkan Bayu, kebijakan hukum terbuka dapat diartikan sebagai tindakan pembentuk undang-undang dalam menentukan subjek, objek, perbuatan, peristiwa, dan atau akibat untuk diatur dalam peraturan perundang-undangan, dimana terdapat kebebasan bagi pembentuk undang-undang untuk mengambil kebijakan hukum karena Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak mengatur atau tidak memberikan batasan jelas.
Dalam permohonan Nomor 15/PUU-XVI/2018 tersebut, Moh. Taufik Makarao dan Abdul Rahman Sabar selaku Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya aturan terkait konsesi jalan tol yang tercantum dalam Pasal 50 ayat (6) UU Jalan. Pemohon menjelaskan konsesi, menurut Pasal 1 ayat (20) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang dipahami sebagai pemberian kuasa dari pemerintah kepada selain pemerintah untuk mengelola fasilitas umum. Pemohon menilai frasa “dalam jangka waktu tertentu” pada Pasal 50 ayat (6) UU Jalan ini tidak memiliki ketentuan waktu yang tepat dan jelas, sehingga mampu mengakibatkan kerugian bagi negara dan masyarakat.
Pemohon beranggapan bahwa penilaiannya terhadap pasal tersebut didukung Pasal 39 ayat (6) UU Administrasi Pemerintahan yang berbunyi “Izin, Dispensasi, atau Konsesi tidak boleh menyebabkan kerugian negara.” Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 apabila frasa “dalam jangka waktu tertentu” tidak dimaknai “dalam jangka waktu paling lama 20 tahun” untuk memenuhi dana investasi dan keuntungan bagi pengusaha jalan tol. (ARS/LA)