Uji materiil Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UU Perjanjian Internasional) dinilai Pemerintah justru mereduksi kewenangan DPR. Hal ini bertolak belakang dengan semangat Pemohon untuk memperkuat peran parlemen dalam proses perjanjian internasional.
Pendapat tersebut dikemukakan Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Mayerfas saat sidang lanjutan uji materiil UU Perjanjian Internasional di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (5/4). Menurut Mayerfas, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa istilah pengesahan telah menempatkan DPR hanya dalam bagian akhir penyusunan perjanjian internasional atau lembaga stempel, tidak mencerminkan pemahaman yang tidak lengkap tentang praktik internasional dalam pembuatan perjanjian internasional. “Dalam praktik, keterlibatan DPR pada akhir penyusunan perjanjian internasional tidak menghilangkan kewenangan DPR untuk menyetujui atau tidak menyetujui suatu perjanjian internasional,” ujarnya dalam Perkara Nomor 13/PUU-XVI/2018.
Dalam keterangannya mewakili Pemerintah, Mayerfas menyebut kerugian yang akan timbul jika permohonan Pemohon dikabulkan. Ia menyebutkan jika Pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasional dibatalkan keberlakuannya, akan menyebabkan ketiadaan prosedur internal dalam pengesahan perjanjian internasional. Selain itu, kerugian lain adalah DPR harus menangani semua perjanjian internasional. “Kemudian, menghilangkan praktik ketatanegaraan yang selama ini sudah berjalan dengan baik dan mengarah pada kekosongan hukum,” terang Mayerfas.
Dalam permohonannya, Pemohon menilai Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional merugikan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh UUD 1945. Ketiga norma tersebut mengatur mengenai peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian Internasional. Pemohon menilai bahwa seluruh ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 terutama Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Peran DPR untuk menyetujui sebuah perjanjian internasional dianggap tereduksi dengan berlakunya Pasal 2 UU Perjanjian Internasional. Hal tersebut karena pasal a quo telah mengganti frasa “dengan persetujuan DPR” dengan frasa “berkonsultasi dengan DPR dalam hal menyangkut kepentingan publik”. Lebih lanjut dalam permohonannya, Pemohon menyatakan bahwa persetujuan oleh DPR terhadap pembuatan perjanjian internasional menjadi sangat penting karena membuat perjanjian internasional berarti negara telah memberikan sebagian kedaulatannya. Apalagi terhadap perjanjian internasional yang memiliki akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat.
Oleh karena itu, Pemohon menilai persetujuan oleh DPR sebagai perwujudan kedaulatan rakyat menjadi sangat penting. Apalagi terkait dengan perjanjian internasional yang memiliki akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat. Kata “pengesahan” mereduksi kata “persetujuan” dengan DPR sehingga menempatkan DPR di bagian akhir penyusunan perjanjian Internasional dengan hanya berperan mengesahkan perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Pemerintah Indonesia. Selain itu, Pemohon juga menilai Pasal 10 UU Perjanjian Internasional, telah memberikan pembatasan (limitasi) jenis perjanjian internasional yang harus disahkan melalui UU. Dengan demikian, untuk materi perjanjian internasional di luar ketentuan Pasal 10 UU a quo harus disahkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (keputusan presiden). Oliver melanjutkan, terkait Pasal 11 ayat (1) beserta penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Pasal 10 UU a quo. Maka, pasal a quo juga dinilai bertentangan dengan Konstitusi. (ARS/LA)