Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah (UU MD3), Rabu (20/3) siang. Perkara yang teregistrasi Nomor 16/PUU-XVI/2018, 17/PUU-XVI/2018, dan 18/PUU-XVI/2018 ini dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo yang didampingi Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Saldi Isra.
Pemohon perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018 yang diwakili oleh Victor Santoso Tandiasa selaku kuasa hukum, menguraikan beberapa poin terkait perbaikan permohonan, di antaranya komposisi Pemohon dan kedudukan hukum Pemohon. Dalam hal komposisi Pemohon, Victor menyatakan adanya penambahan dan perubahan posisi Pemohon, yakni Pemohon III yang awalnya adalah Kurniawan selaku perseorangan, mengundurkan diri dan menjadi Pemohon I dengan ikut bergabung dalam Pemohon I atas nama FKHK. Hal ini terjadi dikarenakan berdasarkan rapat luar biasa FKHK, Kurniawan terpilih sebagai Sekretaris Jenderal, sedangkan Bayu Segara sebagai Ketua Umum FKHK. “Dengan demikian, Kurniawan dan Bayu Segara menjadi Pemohon I, yakni FKHK yang merupakan badan hukum yang pendiriannya berdasarkan akta notaris,” jelas Victor.
Dilanjutkan Andi Irmanputra Sidin selaku kuasa Pemohon, perbaikan lainnya terkait pasal yang diujikan, yakni Pasal 73 ayat (3), (4), (5), dan (6) dan Pasal 122 huruf l. “Karena undang-undangnya setelah diundangkan ternyata menjadi huruf l, dulu itu huruf k,” terang Irman.
Berikutnya, lanjut Irman adalah pengujian frasa “tidak” dan “setelah mendapatkan pertimbangan MKD” pada Pasal 245 ayat (1) UU MD3. “Kita minta ditafsirkan inkonstitusional bersyarat selama tidak dimaknai dalam 30 hari MKD tidak memberikan pertimbangn sejak permohonan diterima, maka MKD dianggap pemanggilan dan permintaan keterangan anggota DPR tidak ada hubungan dengan pelaksanaan tugas DPR karenanya persetujuan tertulis pun tidak dibutuhkan,” jelas Irman.
Menyimpang dari Trias Politika
Sedangkan perkara Nomor 17/PUU-XVI/2018 yang dimohonkan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Viani Limadi selaku kuasa hukum, menjelaskan perbaikan permohonan pada bagian kedudukan hukum Pemohon yang merupakan partai politik yang telah didirikan secara sah berdasarkan peraturan perundang-undangan serta memenuhi kualifikasi sebagai Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang. Namun demikian, lanjut Viani, Pemohon pada saat permohonan diajukan belum memiliki kursi di perwakilan parlemen sehingga tidak terlibat dalam proses pembahasan dan pengambilan keputusan atas UU MD3. “Dengan demikian, secara prima facie adalah pihak yang tidak memiliki benturan kepentingan terkait dengan permohonan pengujian objek permohonan yang diajukan ke MK,” urai Viani.
Dalam penjelasannya, Viani juga menjelaskan terkait kerugian konstitusional Pemohon, Pasal 73 ayat (3) UU MD3 apabila fungsi dan hak konstitusional DPR tersebut dilaksanakan. Menurut Pemohon, hal tersebut hanyalah dalam rangka pelaksanaan hak angket. Dalam Putusan MK Nomor 14/PUU-I/2003, lanjut Viani, MK memberikan pendapat mengenai pemanggilan oleh DPR diatur dalam Pasal 30 ayat (2), (3), dan (4) UU Susduk sehingga dapat dijelaskan itu hanya berkaitan dengan pelaksanaan hak angket.
“Jadi, kewenangan DPR melakukan panggilan paksa tanpa dikaitkan dengan pelasanaan hak angket merupakan tindakan sewenang-wenang karena menyimpang dari trias politica terkait pembagian kewenangan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dan hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum,” terang Viani.
Kerugian Potensial
Sementara itu, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan Josua Satria Collins selaku Pemohon perkara Nomor 18/PUU-XVI/2018 juga menyampaikan perbaikan terutama terkait dengan kedudukan hukum Pemohon dengan menyertakan bukti media publikasi yang menunjukkan peran aktif Pemohon dalam menulis dan organisasi dalam bidang hukum.
Di samping itu, Pemohon juga menyertakan kerugian konstitusional yang berpotensi dialami Pemohon. “Kami memang belum pernah dipanggil, tetapi tulisan kami ataupun kajian kami ada potensi dibawa ke ranah hukum,” jelas Josua.
Dilanjutkan Leonard, Pemohon dalam petitumnya menyatakan Pasal 122 huruf l UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kedudukan hukum mengikat.
Usai disampaikannnya semua perbaikan permohonan, Suhartoyo menjelaskan bahwa hasil persidangan akan disampaikan pada Rapat Permusyawaratan Hakim. Untuk kemudian, para Pemohon akan diberitahukan Kepaniteraan MK mengenai kelanjutan sidang dan permohonanyang diujikan ke MK.
Sebelumnya, Pemohon menguji Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf k, serta Pasal 245 ayat (1) UU MD3. Aturan yang dipersoalkan Pemohon, yakni mengenai pemanggilan paksa oleh DPR terhadap warga masyarakat dan badan hukum yang berbasis organisasi kemasyarakatan. Dalam permohonan Nomor 16/PUU-XVI/2018, Pemohon mendalilkan pasal-pasal tersebut merupakan bentuk upaya menghadap-hadapkan institusi DPR dengan warga masyarakat selaku pemegang kedaulatan. Hal ini menjadi kontradiktif dengan desain konstitusional DPR yang dihadirkan sebagai instrumen untuk mengontrol perilaku kekuasaan bukan perilaku rakyat.
Sementara itu, terkait aturan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sebagaimana seperti tercantum dalam Pasal 122 huruf k UU MD3, Pemohon menilai aturan tersebut bertentangan dengan desain konstitusional DPR. Dalam pasal a quo diatur bahwa MKD dapat mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Selain itu, Pemohon menilai Pasal 122 huruf K UU MD3 membungkam daya kritis masyarakat. Sedangkan terkait hak imunitas anggota DPR yang tercantum dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3, Pemohon mendalilkan ketentuan tersebut dapat mengancam kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi setiap warga negara. Untuk itu, Pemohon meminta pasal-pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan mencabut keberlakuannya. (Sri Pujianti/LA)